09 - Organisasi

22 4 0
                                    

Dukung konten-konten aku di tiktok juga ya...

@_fyanxaa.wp

Terima kasih banyak

------------------------------

"Buruan woi, gue udah telat ini!" Teriak Naila sembari menggedor-gedor pintu toilet sekeras mungkin. Gue tetap anteng depan cermin lagi sikat gigi sambil merenung. Belum juga mulai mandi, dia udah berisik aja suruh cepet.

Gue perhatiin di cermin, gue jelek banget sumpah. Gak sengaja gue liat bekas luka di kening gue sebelah kiri, selurus sama alis. "Kenapa gak ilang ilang ya" gumam gue pelan sambil ngelus bekas luka itu yang terasa kasar banget dipegang.

Kalo bukan karna makhluk dengan sebutan teman itu, ni luka gak bakal pernah ada di kening gue. Gak mau berteman bukan berarti gue gak mau ngerasain yang namanya teman, gue udah pernah nyoba dan ini yang gue dapet.

Gue acak-acak rambut gue yang lembab sampai poni gue nutupin bekas luka itu. Semakin sering gue sadar akan keberadaan luka itu, semakin sulit gue lupain semua kejadian hari itu.

"Ini siapa sih di kamar mandi, lama banget!" Seru papa dengan nada tinggi dari arah luar. "Adek duluan pa!! Adek udah dari tadi nunggu disini!" Timpal Naila juga dengan nada tinggi ke papa. Gue didalam cuma bisa menyimak perbincangan hangat itu.



Beberapa perwakilan dari anggota OSIS meminta izin masuk kedalam kelas kami membawa lembaran formulir.

"Bangun, Nar... Bangun" seru Denta menepuk bahu gue berkali-kali. Pukulannya kayak dicampur dendam pribadi. Gue naikin kepala dan lihat kearah depan dengan wajah kusam bangun tidur.

"Kami perwakilan dari anggota OSIS ingin menawarkan untuk adik-adik semua yang berminat untuk bergabung menjadi anggota OSIS di periode selanjutnya. Bagi yang tertarik, bisa ambil formulir ini ke depan dan diberikan paling lambat besok sepulang sekolah di ruangan OSIS. Silahkan maju, bagi yang mau" Jelas salah seorang dari mereka, diantaranya ada kak Gelsa. Berdiri di paling ujung memandang kearah luar kelas. Ada lebih dari sepuluh orang yang maju untuk ngambil formulir itu ke depan, termasuk gue yang lekas berdiri dan berjalan lunglai ke depan.

"Kalo gue diterima, gue bisa makin akrab sama kak Vania nanti saat di organisasi" pikir gue sambil mengisi satu persatu pernyataan di selembar kertas di atas meja gue itu. Denta mengamati sembari menyeruput minuman miliknya yang disembunyikan di laci bawah meja.

"Serius mau gabung jadi babu sekolah?" Timpalnya santai meremehkan organisasi itu. Deja vu rasanya saat mendengar kalimat itu, persis sama yang gue bilang pas SMP. seorang Nara yang dulunya nge-hate OSIS di masa SMP, sekarang berharap akan menjadi bagian dari itu.

Denta sama sekali tak beralih dari kertas selembar di meja gue, seakan menunggu sesuatu. Gue berhenti nulis dan berbalik menatap kearahnya dengan wajah heran. "Lanjut Nar, lanjut... Itu kolom nama orang tua masih kosong" pintanya tersenyum aneh. Kalimat itu cukup untuk mendeskripsikan keinginan Denta saat ini.

"Bangke" umpat gue pelan mengambil kertas itu dan langsung memasukkannya kedalam tas. Denta memasang wajah melas, gerak geriknya seperti akan menjalankan sebuah rencana. Tak lama ia mengangkat tangannya. "Bu... Izin ke toilet" lalu berdiri.

"Laper gue, lo mau nitip gak? Gorengan di belakang panas-panas nih sekarang" tawarnya. Gue langsung menggeleng cepat sambil buang muka. Tu anak akhirnya nyelonong sendiri keluar kelas, dari jendela kelas, dia ngeliatin gue sambil senyam-senyum gak jelas. "Freak"

***

Cuaca panas banget dan cahaya matahari begitu terik. Satu-satunya yang terlintas dipikiran gue saat ini adalah es teh. Baru sampai di kantin gue udah liat Denta lagi ngerumpi sama temen-temennya yang rata-rata kakak kelas.

Matanya melirik kearah gue dan langsung melambaikan tangannya. Itu membuat seisi meja tempat dia duduk ikut melihat kearah gue, gue langsung buang muka dan jalan lewatin dia dengan wajah datar. Kerumunan di kantin itu membuat nafas gue perlahan mulai sesak, mana inheler gue ketinggalan di kelas. Gak lucu kalo tiba-tiba gue tepar disini kan.

Pandangan mata gue berkeliling mencoba mencari celah yang kosong untuk nafas dan yang gue lihat justru, di belakang gue kak Gelsa berdiri buat antri juga. Liat wajahnya aja cukup buat detub jantung gue menggila. Mata sinis-nya yang Melihat kesana-kemari bikin gue tiba-tiba takut aja. Gimana mau temenan kalo cuman buat sekedar nyapa aja gue gak sanggup.

Sesekali gue melirik dia dibelakang, untuk yang kesekian kalinya. Dia liatin balik dan kita tatapan dalam sekejap. Gue panik dan langsung buang muka detik itu juga. Jantung gue rasanya mau copot ditatap sinis kayak gitu. "Ini dia gak bakal labrak gue karna liatin dia kan" pikir gue.

Gue coba mencari sesuatu untuk dipandang agar gak mencurigakan. Disitu, gue gak sengaja lihat kearah Denta lagi dan dia juga ngeliatin balik. Kali ini dia gak senyum kayak tadi, wajahnya datar. Denta lalu berdiri dan mulai berjalan kearah gue, dengan gelagatnya yang selalu susah dibaca.

Dia cuma diam setelah berada cukup dekat didepan mata gue. Denta lalu menoleh kesamping dan mulai berjalan kearah kak Gelsa. Jujur gue syok banget liat interaksi mereka.

"Nanti gue mau main dulu, bilangin ke ibu ya. Gak usah nyariin" ujar Denta.

"Siapa lo nyuruh gue, bilang aja sendiri" desit nya dengan wajah sinis yang udah template diwajahnya itu.

"Ah elah, pelit amat. Ntar gue bawain makanan deh" bujuk Denta. Kak Gelsa menebar senyum manisnya sembari mengacungkan ibu jari. Denta dengan wajah pasrah itu kembali berbalik dan jalan didepan gue dengan lirikan yang tak biasa. Tu anak ninggalin gue dalam posisi kebingungan dengan seribu pertanyaan yang mau gue tanyain.

-------------------------------

To be continued...

An Older SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang