TB 01 - ada satu cara

257 16 0
                                    

Mata sedikit sayu seperti kurang tidur tetapi tenang. Tas selempang hitam sampai bawah perut digeser ke belakang tubuh. Memakai atribut seragam putih abu lengkap jas agak berantakan. Devan melewati koridor lantai dua.

Mendengar setiap kelas dipenuhi satu guru. Menikmati langkah sepatu sport. Mengingat bayang-bayang solusi yang membekas diingatan.

"Kapan jenguk Bapak, Rika?" Devan mengusap peluh di pelipis. Gelanggang olahraga dekat rumah sepi.

Rika melempar handuk putih, tahu, abangnya selesai berlari puluhan putaran. Memutar sepanjang jalan hanya untuk membunuh waktu dan menunggu adiknya menuntaskan rutinitas.

Devan menghalangi. "Terakhir kali lo jenguk Bapak setahun lalu."

"Bapak nggak butuh dijenguk."

"Bapak kangen lo."

Cerita-cerita yang tidak akan pernah habis dibahas meskipun dilekang oleh tahun.

Rika cuek menantang. "Oke. Tanggal merah tutup. Bapak, baru bisa dijenguk liburan semester ntar. Ogah ya izin nggak masuk sekolah."

"Nggak harus nunggu liburan. Ada satu cara."

"Gimana?"

"Bolos kelas."

Devan menumpang lewat dan berhenti di depan pintu ruang kelas X-3 yang terbuka lebar. Suara wanita memanggil satu nama tidak asing.

"Rika, maju ke depan."

Devan menoleh ke kanan. Suara Bu Tari berubah lantang.

"Rika Savitra, dengar saya? Kerjakan soal pertama."

Gadis rambut di atas bahu maju ke papan tulis. Mengambil spidol dan mulai mengerjakan soal fisika yang tampak tidak begitu sulit untuknya meskipun sikapnya acuh tak acuh.

Diperhatikan. Rika menoleh dan menatap seseorang di luar. Devan yang sejak tadi memperhatikannya tiba-tiba mengangkat alis sebelah-memberi isyarat. Ayo. Rika paham, membalas ajakan dengan mengernyit tidak terima.

"Anak kelas tiga kenapa berdiri di sana?" tegur Bu Tari memergoki. "Devan—"

Devan mengangguk sopan pergi bersama langkah tenangnya. Devan tidak panik meski ketahuan. Dia terbiasa dihadapkan situasi terjebak. Lebih tepatnya, sudah mempersiapkan kemungkinan yang terjadi. Koridor masih panjang. Dua puluh tujuh langkah lagi Devan berbelok.

Saat menuruni anak tangga. Solusinya seketika berakhir. Devan harus mengaku kalau yang ini dia sudah kalah telak. Aksi tenangnya untuk kabur dari kelas di pelajaran pertama memang telah ketahuan dari sejak datang ke sekolah hanya untuk absen. Pak Agil—guru konseling—menghalangi langkah kakinya di anak tangga terakhir.

"Devan Mahendra, mau bolos ke mana?"

~

Rika tahu Devan pintar. Tapi tak menjamin tidak bisa bodoh bukan.

"Rik, bang Devan di hukum pak Agil. Di suruh nyapu di halaman belakang."

Rika datang paling belakang di kafetaria. Temannya sudah menempati bangku. "Apa urusannya sama gue?"

Aldo pura-pura serius. "Di bantu. Bang Devan ketahuan mau bolos tadi pagi. Lo rencana mau ikutan, kan?"

Sembari berjalan, Rika dengan tangan kiri menoyor tempurung kepala Aldo. "Sok tahu."

Aldo meringis.

Rika memasukkan kedua kaki ke kolong meja. Duduk berhadapan. "Kalau ngomong yang benar. Gue murid teladan."

Tahan BantingWhere stories live. Discover now