Bab 16 ~ Dihantui

652 51 2
                                    


“Jangan, Pak… jangan !!! Itu Daus, teman kami yang sudah meninggal,” Pak Anwar kaget. 

Dia pun terlihat ragu-ragu untuk melangkah menuju pintu, suara ketukan di pintu semakin menjadi-jadi seiring dengan suara  Daus yang mendayu-dayu meminta agar pintu segera dibuka.

“Ayolah, teman-teman. Rendy .. Rahman .. Darham .. kalian kenapa tega membiarkan aku sendirian disini, aku kedinginan .. tolong aku .. aku mau masuk ke dalam, bukakan pintunya, ayolah .. hanya kalian teman-teman ku,” ujarnya sembari mengetuk pintu berulang kali.

Wajah Rendy, Rahman, Darham juga Pak Anwar nampak begitu tegang. Jika diketuk oleh orang yang masih hidup, mungkin bukan lah masalah bagi mereka akan tetapi Daus yang baru beberapa jam lalu mereka temukan dalam keadaan sudah menjadi mayat. Sungguh mengerikan.

“Apa dia nggak ingat kalau dia sudah meninggal, atau sekarang ini dia lagi gentayangan,” bisik Rendy kepada Darham. Darham hanya menggelengkan kepalanya saja. Tak tahu.

Setelah cukup lama suara ketukan di pintu dengan suara Daus yang menghiba, akhirnya suara tersebut benar-benar menghilang. Meski begitu, mereka berempat tidak ada satupun yang berani membuka pintu, karena dalam pikiran mereka, bisa saja Daus akan kembali lagi meneror mereka.

Pak Anwar kembali duduk dan bergabung bersama ketiga pemuda dari Hutan Kalimantan itu. Mereka duduk bersila melanjutkan meminum kopinya. Tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan pondok. Mereka saling berpandang-pandangan.

Rendy melihat layar handphonenya untuk melihat jam. Saat ini sudah Pukul setengah dua belas malam. Kali ini terdengar suara langkah yang cukup ramai, sekitar dua sampai tiga orang yang melangkah dan dari luar pondok terdengar suara Suharto, Bos mereka dan suara lainnya.

“Kayaknya itu beneran Pak Suharto, biar aku buka aja ya?”kata Darham.
Rendy dan Rahman nampak ragu, namun ketika Darham melangkah.

Mereka pun mengekor di belakang. Darham membuka perlahan pintunya setelah memutar kunci pintunya. Tak lama mereka bertiga lega karena Suharto berdiri tak jauh dari mobilnya. Dia datang bersama beberapa orang dari Kepolisian dan dua orang Petugas Medis.

“Nahh ... ini mereka, Pak,” ucap Suharto sambil menunjuk mereka bertiga. Mereka pun kini berani keluar dari dalam pondok Pak Anwar.

“Apa benar dengan temuan kalian bahwa salah satu teman kalian ada yang sudah meninggal dunia dan kalian angkut dari sungai, itu informasi yang Saya dengar,” terang Petugas Kepolisian bernama Bambang yang terlihat dari bet namanya yang terpampang di atas kantong bajunya.

“Ya, Pak. Teman kami namanya Daus, jika dilihat dari pakaian yang dia pakai saat kami temukan, kemungkinan dia sudah meninggal beberapa hari yang lalu, kami temukan dia tersangkut di pohon nipah yang ada di sungai dalam Hutan Kalimantan,” beber Rahman.

“Okelah, kalau begitu kita semua akan kesana. Kalian semua akan menunjukkan jalannya pada kami agar jenasah Daus segera dievakuasi,” tutur Bambang.

Rendy, Rahman dan Darham saling berpandang-pandangan. Dengan segudang pengalaman yang baru saja mereka alami, rasa-rasanya mereka sangat enggan untuk kembali masuk ke dalam hutan, namun Suharto meminta mereka menunjukkan jalannya membantu Petugas Kepolisian melaksanakan tugasnya. Terpaksa mereka menurut.

“Bagaimana jika seandainya saat kembali ke Hutan ternyata Daus muncul lagi, mampus kita,” tukas Rendy.

Rahman menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. Dia juga terlihat bingung. Sedangkan Darham memilih diam saja. Sebelum pergi kembali ke hutan, mereka pun berpamitan dengan Pak Anwar.

Mereka pun naik ke dalam mobil, kali ini mereka harus kembali masuk ke dalam Hutan Kalimantan yang dikenal mistis ini untuk menemukan kembali jenasah Daus agar dapat segera dikebumikan. Begitu sampai di depan hutan, Darham dan Rendy enggan masuk, mereka memilih berdiam diri di dalam mobil.

Rahman menggerutu mengetahui kedua temannya itu tak ikut bersama mereka. Rendy dan Darham tersenyum puas, mereka beralasan jika kaki mereka sakit dan butuh beristirahat. Rombongan pun akhirnya memulai perjalanan.

“Maaf ya, aku mungkin nggak ikut. Kaki ku sangat sakit dan kalau dipaksakan berjalan lagi mungkin besok aku bisa sakit,” Rendy beralasan.

“Ya, aku juga .. Kaki ku sudah mulai lecet, minimal kasih kami waktu untuk istirahat. Lagian Rahman sudah hapal jalan menuju sungai tempat Daus yang kami temukan,” tambah Darham.

Rombongan pun berjalan tanpa mereka berdua, mereka pun duduk-duduk santai sambil memutar lagu dangdut koplo pada tape mobil. Mereka begitu menikmati sambil tertawa-tawa riang.

“Waduhh, jarang-jarang kita mendengar lagu dangdut gini. Biasanya hanya Eko dan Daus yang suka sama lagu beginian. Tapi karena aku lagi stres banget. Bisalah kita putar buat menghilangkan penat karena beberapa jam diikuti terus sama Daus,” ungkap Rendy.

“Ya, betul. Rasanya kita capek betul dikejar-kejar. Mana tadi kita ingat sudah lari berapa kilo tanpa rasa apapun. Yang ada diotak gimana caranya bisa menghilang dan menghindar dari tuh orang, lagu ini enak juga ya. Walaupun nggak bisa dipakai buat jepenan, minimal bisa dipake buat goyang-goyang kepala lah,” jawab Darham sambil menggoyang-goyangkan tangan dan juga kepalanya.

“Wahh, enak juga lagunya ya?” suara dari luar mobil terdengar. Mereka yang asik bergoyang, terdiam. Mereka saling melihat satu sama lain. Mereka berdua terdiam dan mulai waspada. Rendy mulai mematikan lagunya. Sambil kupingnya mencoba mendengar suara yang barusan mereka dengar.

“Kamu dengar nggak tadi? Kayaknya ada yang barusan ngomong?” tanya Rendy. Darham mengangguk. Mata Darham mencari kesana kemari arah suara.

“Lagunya kenapa dimatikan? Aku baru mau goyang,”
Rendy dan Darham mulai ketakutan. Napas mereka mulai memburu.

Jantung mereka berdetak tak karuan. Mereka menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber suara, tapi tak jua mereka temukan. Mereka kini saling berpandang-pandangan.

“Kok lagunya dimatikan sih, Ren. Kan aku masih mau goyang,” Kali ini mata mereka melotot melihat Daus yang berdiri persis di depan jendela mobil yang sedikit terbuka. Daus tersenyum menyeringai dengan wajah yang penuh lumpur dan belatung.

“Argggghhhhh ….. Arghhhhhhh,”

Mereka kompak berteriak dan selanjutnya mereka berlomba masuk ke dalam Hutan Kalimantan menyusul rombongan.

Tragedi Hantu Bilau Hutan Kalimantan Where stories live. Discover now