5. Penelusuran

307 50 0
                                    

Bulan yang sempat merajai malam kini digeser oleh matahari. Suasana fajar yang tengah menyingsing pun tercipta. Perlahan-lahan langit kuning membaur dengan langit malam, menciptakan pemandangan indah yang siap dinikmati oleh orang-orang yang bangun lebih awal.

Begitu pula sinar matahari yang sedikit demi sedikit masuk ke dalam rumah melalui celah-celah kecil. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Sama seperti sinar matahari yang menubruk tubuh seseorang.

Awalnya hanya secuil, lama-kelamaan refleksi satu jendela transparan pun terlihat di atas tubuhnya. Apa reaksi orang itu? Tak ada. Sinar matahari yang makin menyengat seakan tak berarti apapun bagi tubuhnya.

Mata Jeonghan terbuka, memperhatikan langit-langit dengan pikiran kosong. Berpikir tentang siapa itu Jisoo yang sebenarnya membuat otaknya terasa dikeruk. Tak mau otaknya meledak, ditulisnya semua kemungkinan yang bisa terjadi di langit-langit rumah dengan pena khayalan.

Jeonghan tak pernah bisa menutup matanya karena memikirkan Jisoo. Tubuhnya sudah sangat lelah, tetapi otaknya menolak untuk beristirahat. Banyak dugaan-dugaan dan kemungkinan yang bisa terjadi sehingga otaknya memanipulasi hatinya.

Bagaimana jika Jisoo sebenarnya tahu bahwa dia adalah malaikat dalam tanda kutip dan berniat untuk membunuh dirinya? Bagaimana jika Jisoo sebenarnya hanyalah seorang manusia biasa?

Tanpa tertidur, Jeonghan terus memikirkan Jisoo. Dipikirannya hanya ada Jisoo. Ketidakpastiannya membuat dirinya terjaga sepanjang malam. Aktivitasnya sepanjang malam hanyalah berkeliling dari ruang tamu ke ruang keluarga lalu menuju dapur. Begitu terus, berulang-ulang.

Jeonghan sengaja melakukan itu, dia berusaha mencari informasi lebih dari Jisoo. Dalam benaknya, Jeonghan berharap Jisoo hanyalah seorang manusia biasa. Tetapi di sepanjang pencariannya, Jeonghan tak mendapat informasi lebih yang bisa memuaskan rasa penasarannya.

Jisoo tak memiliki foto keluarga sama sekali. Rumahnya hanya dipenuhi oleh pajangan lukisan. Bingkai-bingkai yang terpajang berisi lukisan-lukisan karya Jisoo sendiri. Tak ada satupun bingkai yang di dalamnya merupakan foto keluarga.

Hilang sudah pikiran positif Jeonghan karena kejanggalan itu. Bagaimana jika Jisoo memang merupakan sesosok iblis? Tidak mungkin seorang manusia tak memiliki satupun hal yang berhubungan dengan keluarganya.

Memang bisa jadi jika Jisoo memutuskan hubungannya dengan keluarganya sehingga laki-laki itu tidak menyimpan kenangan tentang keluarganya. Tetapi, bisa jadi juga bahwa Jisoo adalah sesosok iblis yang sedang menyamar untuk mendistraksi tugas malaikat.

Jeonghan sebenarnya tidak keberatan, toh dia juga aslinya merupakan sesosok iblis. Yang menjadi kekhawatiran Jeonghan adalah seberapa kuat Jisoo jika memang benar Jisoo merupakan sesosok iblis.

Semua hal yang Jeonghan lakukan tentu saja tersembunyi mengingat ada titel malaikat yang Jeonghan emban. Hal itu membuat nama Jeonghan tak pernah mencuat tentang dirinya yang bisa memanipulasi pikiran orang lain.

Malaikat maupun iblis lain tentu tak tahu bagaimana kekuatan Jeonghan yang sebenarnya. Sedangkan Jeonghan hanya perlu untuk diam, mengamati orang lain, dan paham sifat-sifat yang dimiliki.

Sayangnya, sistem itu tak bisa diterapkan pada Jisoo. Jeonghan hanya paham bahwa Jisoo mempunyai kebaikan hati yang diluar nalar, tetapi tak tahu bagaimana sifat asli Jisoo.

Bisa jadi, Jisoo merupakan sesosok yang jauh lebih kuat dari Jeonghan walau tak menutup kemungkinan bahwa Jisoo juga bisa lebih lemah dari Jeonghan. Bukankah Jeonghan harus bersiap siaga terus-menerus?

Indra pendengaran Jeonghan bisa menangkap suara pintu terbuka dan derap langkah kaki dari lantai atas. Jisoo masih aman, masih berada di mode manusianya. Jeonghan pun memilih untuk mendudukkan dirinya.

"Jeonghan? Kau tak tidur?" Pertanyaan itu membuat kepala Jeonghan tertoleh. Kemungkinan yang bilang bahwa Jisoo merupakan sesosok iblis sejenak dilupakan ketika Jeonghan melihat Jisoo memakai piyama tidurnya.

Piyama berwarna yang sedikit kebesaran itu memeluk erat tubuh Jisoo yang terbilang kecil. Jisoo benar-benar menggemaskan. "Maaf, aku tak terbiasa tidur di rumah orang lain sehingga aku terjaga sepanjang malam," bohong Jeonghan.

Selagi melangkah turun, Jisoo menganggukkan kepalanya. "Tak apa, tak perlu meminta maaf. Ayo sarapan dahulu," ajak Jisoo yang membawa langkah kakinya menuju dapur.

Jeonghan mengiyakan, dia bangkit dari sofa dan mengekori Jisoo ke dapur. Sementara Jeonghan duduk di kursi, Jisoo membuka kulkas, "Kau ingin sarapan yang ringan atau yang berat?"

Merasa perutnya kenyang akibat angin, Jeonghan menggeleng. "Jika boleh, aku ingin sarapan yang ringan saja," ucap Jeonghan yang diangguki oleh Jisoo. Bisa Jeonghan lihat bahwa Jisoo mengeluarkan susu kotak serta sekotak sereal. Sarapan sereal, tak buruk sebenarnya walaupun lidah Jeonghan yang tidak terbiasa.

Semangkuk sereal yang dicampur dengan susu pun akhirnya tersaji di hadapan Jeonghan. Setelah Jisoo selesai menyajikan makanan untuk dirinya, mereka memulai acara sarapan mereka.

Tak mau tenggelam dalam keheningan, Jeonghan membuka pembicaraan, "Jisoo, boleh aku bertanya?" Dengan pipi yang penuh dengan sereal, Jisoo mengangguk membolehkan.

"Apakah kau tinggal sendiri? Maaf, tapi aku tak melihat orang lain di rumahmu yang terbilang cukup besar," tanya Jeonghan. Kepalanya menoleh kesana-kemari, melihat sekelilingnya. Sengaja Jeonghan bertanya seperti itu agar dia bisa mendapatkan jawaban yang pasti dari Jisoo.

Jisoo mengangguk, "Aku memang tinggal sendiri. Aku tinggal disini untuk mencari orang tuaku." Sebuah informasi baru dari Jisoo yang tak Jeonghan sangka. "Mereka meninggalkan ku saat aku masih kecil sekali, sehingga aku diasuh oleh orang tua asuh," sambung Jisoo, menyeruput kuah serealnya.

Berusaha menutupi keterkejutannya, Jeonghan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ah, begitu. Maafkan aku. Aku berniat meminta bantuan pada keluargamu, mengingat kau akan bekerja nanti," jelas Jeonghan yang tentu saja bualan belaka.

Senyum tipis Jisoo terpajang, "Tak apa. Kau sebenarnya boleh tinggal lebih lama. Aku kesepian, tak mempunyai teman berbincang." Jeonghan membalas senyum kecil, kemudian lanjut menyantap serealnya.

"Ah, ya!" seru Jisoo tiba-tiba ditengah sarapan mereka, mengejutkan Jeonghan. Jisoo kemudian bertanya, "Aku akan bekerja hingga pukul 7 malam. Kau ingin aku atau kau yang memegang kunci rumah?"

Dengan cepat, Jeonghan memikirkan agendanya seharian ini. Dia hanya akan mengecek sebentar si malaikat magang, sisanya dia akan mengorek informasi lebih tentang Jisoo. Tentu dia akan melebarkan sayapnya, kembali menjadi malaikat. Jika butuh masuk ke dalam rumah dia tinggal menembus saja.

"Lebih baik kau saja yang pegang. Aku ini orang asing," jawab Jeonghan, sedikit menunjuk Jisoo menggunakan dagunya. "Aku bisa menghabiskan waktuku di tempat lain, seperti di taman," lanjut Jeonghan.

Bibir Jisoo mengerucut, "Tapi, aku percaya padamu. Bukankah seseorang tidak lagi asing jika mereka dipercayai?" Mendengar hal itu, Jeonghan hanya tersenyum tipis. Jisoo benar-benar terlalu baik dan polos untuk menjadi sesosok iblis.

Jisoo tak akan menyebutkan kalimat itu jika dia mengenal Jeonghan yang sebenarnya.

[✓] The Fallen Angel | YoonHongOù les histoires vivent. Découvrez maintenant