1

3.8K 125 3
                                    

⚠️ini cerita kedua, lanjutan dari judul Cruel Temptation I. Mohon lebih teliti dalam membaca, maaf atas ketidaknyamanannya.

....

Lonceng-lonceng toko berbunyi, seorang wanita menunduk sopan sembari mengucapkan selamat datang pada para pelanggannya. Bersebrangan dengan gereja, tempat ini lumayan mudah untuk di akses. Dunk berdiri dan melihat keluar alun-alun, bebatuan di pinggiran jalan utama basah berkilauan bekas hujan semalam. Menara gereja berbentuk persegi berdiri gagah di bawah sinar matahari pagi, menjulang tinggi dari lorong depan perkotaan yang begitu terang, toko roti, toko bunga, dan toko yang menjual patung-patung malaikat serta mawar-mawar imitasi berjejeran.

Tepat di sisi kanan persimpangan terdapat sebuah bangunan cukup tinggi khusus tempat jam besar bersinar terang menggunakan angka romawi, lelaki manis memperbaiki posisi mantelnya terus berjalan memasuki pemukiman.

Matanya memandang ke alun-alun dengan ekspresi sedikit muak, lima tahun belakangan dia terus-menerus mendapati situasi yang sama sejak kepindahannya ke kota bangkok.

Kaki itu mulai memasuki sebuah rumah minimalis berdempetan dengan bangunan lain, suara engsel pintu memekakkan telinga. Dia melepas sepatu menaiki satu anak tangga rendah, lalu meletakkan bungkusan bubur di atas meja mini.

"Sean, waktunya sarapan"

"Shaa...." lelaki tampan dengan seragam sekolah kanak-kanak lengkap memperbaiki posisi dasi, senyumnya sangat bangga "bagaimana Mommy? Sean sudah tampan tidak?"

"Tampan sekali" pelukan erat begitu hangat seperti pagi-pagi sebelumnya, hari ini dia mendapati dirinya bertahan karena malaikat kecil tampan. "Ayo sarapan dulu"

"Siap, laksanakan" perangai menyenangkan dengan wajah bersemangat, tubuh mungil duduk di depan meja mini menyantap bubur hangat di dalam mangkok.

Dunk tersenyum, setiap hari-harinya mendapatkan keajaiban. Kebiasaan yang tak pernah hilang dari putranya, dia terus berharap doanya terkabul dengan hasrat dan keyakinan tak pernah sirna. "Kita bisa hidup tanpa campur tangan siapapun, dan hari ini tepat usiamu lima tahun, Mommy membuktikannya"

"Mommy, sudah beres"

Sean kecil menenteng ransel birunya dengan semangat, satu hentakan tangannya di remas sayang oleh Dunk. "Baiklah jagoan, kita pergi sekarang"

Tautan tangan bersenandung ria bergoyang depan dan belakang menciptakan senyum yang tak terukur, khas dan penuh ketulusan. Dunk bisa merasakan betul pipinya lembab, rasa bangga dan sayangnya begitu melimpah.

Jarak dengan sekolah anaknya menempuh waktu sekitar tujuh menit berjalan kaki, cukup dekat dengan kuil di seberang jalan. Jadi biasanya Dunk menyempatkan diri berdoa sebelum pergi ke tempatnya bekerja, di depan gerbang seorang pemuda manis melambaikan tangan begitu antusias.

"Paman Louis..." Dia memeluk erat, wajah tampan anaknya begitu semangat.

"Louis, tolong titip Sean yah"

"Tenang saja" lelaki manis itu sudah cukup lama menjadi kenalannya, salah satu pendidik di taman kanak-kanak begitu akrab dengan Sean, sampai anaknya itu bahkan tak menganggap Louis sebagai guru melainkan paman, dan beruntungnya Louis sama sekali tak keberatan. "Hei tuan kecil, apa kau sudah sarapan tadi pagi?"

"Khab..."

"Pintar sekali, katakan salam perpisahan pada Mommy-mu"

"Sampai jumpa lagi Mommy" ujarnya dengan ceria.

"Belajar yang baik yah, jangan membuat kekacauan"

"Khab..."

Dia membalikkan badan memberi lambaian tangan ringan, menyebrangi jalan hati-hati kemudian tiba di pintu kuil tangannya mengambil bunga-bunga di atas nampan, diletakkan tepat di depan sesembahan. Tangannya memegang garu mengapitnya dengan kedua tangan, matanya terpejam hikmat merangkai permohonan.

.
.
.
.
.

"Shuu.... Shuu...." Lelaki kecil perawakan tampan menggoyangkan tangannya naik dan turun, sebuah pesawat kertas terapit di kedua jari mungil. "Mommy, kenapa Sean tidak memiliki nama belakang?"

Pertanyaan polos dari lelaki kecil menghentikan pergerakan tangannya, Dunk berbalik badan menyaksikan sang anak masih asik bersenandung. "Kenapa Sean menanyakan itu?"

"Karena Nuea punya nama belakang, tapi Sean tidak" rambut legam berkibar-kibar terkena kipas angin, dia semakin girang.

"Karena Sean itu spesial"

Langkah kecil mendekat, anaknya tertawa riang. "Besok aku akan menjelaskannya pada Nuea, bahwa orang yang tidak memiliki nama belakang adalah orang yang spesial"

"Anak pintar" Dunk tersenyum kecil, tangan itu menakup wajah putra kecilnya. "Besok Mommy akan pulang terlambat dari tempat kerja, tunggu Mommy di sekolah bersama paman Louis yah"

"Humm, baiklah"

"Jangan nakal yah sayang..."

"Iya Mommy, Sean tak pernah nakal"

Dunk tersenyum kecil, tangannya masih sibuk memotong beberapa lembar sayur.

"Mommy..."

"Iya? Ada apa?"

"Hari ini temanku membawa kapal pesiar yang bergerak" Di antara tumpukan kertas bekas lipatan bocah kecil menabrakkan pesawatnya, wajah penuh keceriaan tergambar apik. "Tapi Nuea tetap ingin bermain bersama Sean saja, dia teman Sean yang paling baik"

"Baguslah, nanti Mommy usahakan bisa membeli pesawat kecil yang bisa terbang untuk Sean"

"Tidak usah, Sean tetap bermain dengan pesawat kertas buatan Mommy"

Dunk melemaskan kakinya di atas lantai, wajah sumringah lagi-lagi jadi pemandangan luar biasa baginya. Semangkuk sup dan lauk sederhana tersuguh di meja makan mini mereka, dia mengusak rambut sang anak. "Ayo makan, setelah itu kita tidur"

"Mommy akan menyanyikan lagu lagi kan, malam ini?"

Lelaki manis mengangguki ucapan anaknya, dengan lahap Sean memasukkan makanan ke mulut mungil yang mengerucut lucu.

"Sean suka sekali mendengar nyanyian dari Mommy?"

"Hum, suka... Mommy selalu membawakan nyanyian yang bahagia"

Kebenciannya tak akan terlupakan meski begitu lama, tangan lelaki manis menjulur di leher sang putra. Sesaat dia boleh kehilangan arah, tenggelam bersama kubangan kenangan menyakitkan. Namun kini dia telah berusaha menjauh dengan memilih kota Bangkok, dengan suara yang bukan suaranya, dengan penampilan yang bukan penampilannya, dan kehidupan total berubah dengan yang pernah dijalaninya. "Aku ingin menangis memelukmu nak, tapi aku tak mau kau jadi lemah sepertiku"

Ruangan berukuran kecil yang menjadi saksi bisu perjuangannya berusaha membesarkan sang anak dalam kehangatan, dia memutuskan menjalani hidup sendiri tanpa bantuan orang tuanya. Benar-benar hanya berdua dengan buah hatinya, dia telah merasakan pahit dan manisnya hidup secara bersamaan.

Di rentangkan nya seprei dengan motif hitam polos, langit malam di kota ini mendatangkan udara sejuk. Hijau kecoklatan dengan seberkas awan seputih susu di cakrawala, suasana di luar begitu sunyi dan senyap.

"Selamat tidur" dibawah kelopak mata yang terpejam, mata kecil bergerak-gerak "Mommy, Sean menunggu nyanyiannya"

Dunk menepuk pelan perut anaknya, menatap wajah polos penuh penderitaan. Dia tertunduk, menyanyikan bait demi bait lagu begitu sepi hingga mendengarkan suaranya sendiri, melawan dengan lirih hembusan angin malam.

Seraut wajah dalam sinar bulan, lengkungan bahu kecil di atas pembaringan. Mata indah warisan yang berperan besar dalam kerinduannya, total sosok ini mengingatkan pada seseorang. Di genggam lah tangan kecil, merasakan hangat sedikit demi sedikit.

"Kita bisa berdua saja kan sayang?, Benar-benar hanya berdua, Sean dan Mommy saja"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa tinggalin jejak kak, maaf masih berantakan, makasih udh mampir 🙏🏻

⚠️Ini lanjutan dari Cruel Temptation I [Joongdunk]18+


Cruel Temptation 2 [Joongdunk]18+[END]Where stories live. Discover now