Jangan

539 64 4
                                    

Cerita ini adalah imajinasi yang dibuat penulis berdasarkan tokoh dan cerita dalam sejarah. Bahasa yang digunakan juga telah disesuaikan agar lebih mudah untuk dibaca.

###

"Tunggu ... kau, aih kepalaku sakit sekali," ujar Ametung sembari memegang kepalanya.

Dedes tak mengerti situasi ini. Ritme detak jantungnya semakin cepat. Muncul rasa takut, jikalau sudah memasuki hari ke empat, yang artinya Ametung tidak akan mengingatnya. Bulir-bulir keringat muncul di dahi perempuan itu.

Ametung masih mengerang perlahan dan memegangi kepalanya. Matanya menatap Dedes tajam, ada sedikit rasa aneh dalam diri laki-laki itu. Rasa yang membuat Ametung reflek memeluk Paramesywari Tumapel.

Dedes terpaku di dalam dekapan Ametung. Tubuh berat laki-laki itu menimpanya, tetapi Dedes tidak bergerak sedikitpun. Hingga, tangannya membalas pelukan Ametung. Air matanya mengalir dan membasahi bahu Akuwu Tumapel.

Balasan pelukan dan air mata memberikan efek yang besar. Sakit yang bersarang selama beberapa detik di kepala Ametung sirna. Tangisan Dedes menular kepada laki-laki itu. Secara tidak terduga, pembicaraan Ametung dan Dedes mengalir dengan lancar. Kekhawatiran Dedes tidak terjadi.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, aku akan selalu mencintaimu Dedes. Maafkan aku karena sempat berpikir untuk memanfaatkanmu. Dengan adanya diriku bersama dirimu, kerajaan Kediri bisa hancur oleh kaum Brahmana," jelas Ametung.

"Tak apa kakanda. Aku sendiri berniat memanfaatkanmu untuk membalas dendam terhadap seseorang. Aku tak ingin tanganku kotor, sehingga aku berpikir bahwa memanfaatkan dirimu adalah hal yang paling baik," balas Dedes.

Tangis Ametung semakin deras. Begitu juga dengan Dedes, mereka berdua saling menyadari kesalahan mereka. Memanfaatkan seseorang untuk rencana jahat atau pembalasan dendam bukanlah hal yang baik. Mereka, memahami yang dibutuhkan untuk saling mendukung. Mereka hanya membutuhkan sifat saling percaya dan cinta.

"Aku sungguh menyesal Dedes. Aku juga sempat berpikir memanfaatkan gelar Stri Nareswari yang ada di dalam dirimu."

Dedes tersentak. Tangisannya berhenti. Dia terkejut dengan apa yang Ametung katakan.

"Kakanda bilang apa? Aku seorang Stri Nareswari?" tanya Dedes. Rona wajahnya menjadi bingung dan tegang.

"Kau tidak tahu? Kupikir dirimu sudah mengetahuinya ..." ujar Ametung.

"Bagaimana mungkin aku seorang Stri Nareswari!" teriak Dedes. Hidup remajanya hanya dipenuhi dengan kegiatan belajar dan kehidupannya setelah dewasa adalah menunggu. Menunggu Mpu Parwa membawakan Dedes jodoh, jodoh yang baik menurut ayahandanya.

"Aku mengetahui hal ini dari seorang peramal. Setelahnya aku mencari dirimu dan berniat mempersuntingmu," ungkap Ametung seadanya.

"Peramal?"

Dedes mengigit jari-jarinya. Dia tidak mengerti, mengapa dirinya merupakan seorang Stri Nareswari?

Apakah Dewa yang memberiku gelar dengan derajat tertinggi tersebut secara cuma-cuma? Ataukah, diriku sudah mengorbankan sesuatu untuk mendapatkannya? Ah aku pusing! Sebaiknya aku alihkan topik pembicaraan serius ini, batin Dedes.

"Kakanda, sebaiknya kita istirahat. Kakanda baru saja sadar setelah tiga hari tertidur. Aku juga lelah karena berlari bolak-balik dari Pakuwon Tumapel ke pusat kota untu- upss!"

Ucapan Dedes terhenti, membuat Ametung penasaran. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya. Terlalu dekat sampai napas Ametung menerpa pipi Dedes.

"Untuk apa?"

Bulir-bulir keringat kembali muncul di dahi. Dedes gemetar melihat Ametung sedekat ini. Wajahnya memerah. Ia memalingkan wajahnya dari Tunggul Ametung.

"U-untuk ... rahasia! Hehehe ... ayo kita istirahat! Kakanda pasti lelah."

Dedes membalikkan tubuhnya dan hendak pergi, tetapi Ametung menariknya kembali ke posisi semula. Ametung menampilkan raut tegas, seakan-akan dirinya mengatakan 'Dunia akan hancur jika kau tidak menjelaskannya' kepada Dedes.

"Baik. Baik. Aku jelaskan. Jadi, aku memberi kakanda sebuah racu-"

"Kalau itu aku sudah tahu."

"Diam dulu bisa tidak? Jadi ..., tunggu, kakanda tahu jikalau kakanda diberi racun? Lantas kenapa kakanda meminum wedhang yang aku berikan!"

Bisa saja Ametung tidak meminum wedhang yang dibuatkan istrinya. Ia mungkin akan langsung menjatuhkan hukum mati kepada Dedes karena percobaan pembunuhan terhadap Akuwu Tumapel, tetapi ada alasan mengapa Ametung tetap meminum wedang yang Dedes buatkan. Yakni, perasaan cintanya terhadap istrinya yang begitu besar. Sehingga, Ametung bisa melakukan hal-hal nekat, selama istri yang menginginkannya.

"Ughh, baiklah! Aku lanjut saja dengan penjelasannya. Jadi, aku mendatangi Rumah Obat Herbal, tempat aku memesan racun yang kakanda minum. Aku datang untuk membuat kakanda kembali sadar dari tidurnya, dan aku pergi tengah malam, dalam keadaan baru saja bermimpi buruk yang benar-benar mengerikan. Saat tiba, pemilik dari Rumah Obat Herbal mengatakan ada dua cara. Cara pertama dengan ketulusan dan penyesalan atas perbuatanku. Cara yang kedua adalah,"-wajah Dedes memerah-"mencium bibir Kakanda Ametung."

Ametung terdiam, selama beberapa detik mereka berdua dilanda kesunyian. Kini, wajah Ametung ikut memerah. Tangannya menyentuh bibir lantas menundukkan kepalanya.

"J-jadi, kesayanganku mencium bibirku? Tanpa sepengetahuanku?"

"Ughh, jangan dibahas!"

"Kesayanganku menciu-"

"Jangan di bahas aku bilang!"

Dedes berlari, menjauh dari Ametung. Aksi kejar-kejaran terjadi. Ametung tertawa, meminta reka ulang adegan.

"Kali ini, lakukan dengan keadaan aku tersadar!"

"Dibilang jangan di bahas!"

###

Di dalam padepokan Dang Hyang Lohgawe, Arok dan para Brahmana sedang berkumpul. Mereka berkumpul dengan formasi duduk melingkar. Sudah cukup lama mereka berada di formasi ini.

"Jadi ... perempuan di dalam bilikku telah berhasil menyelamatkan nyawaku. Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana perempuan itu melakukannya?" tanya Arok.

Dang Hyang Lohgawe menghela napas. Sebenarnya, ia merasakan sedikit aura aneh dari perempuan yang menolong Arok. Bukan aura kejahatan apalagi kegelapan. Lebih seperti, aura cahaya.

"Sayangnya, itu benar," jawab Mpu Parwa.

"Tidak da yang tahu siapa nama perempuan itu?"

"Tidak," jawab para Brahmana serempak.

"Bagaimana mungkin tidak ada pemeriksaan untuk setiap orang yang masuk ke dalam padepokan? Apa kalian tidak memikirkan jika ada penyusup atau orang-orang yang hendak berbuat jahat dan mencelakai Brahmana Agung Hindu Syaiwa disini? Kalian kaum Brahmana, tapi kalian tidak berpikir panjang?"

Para Brahmana terdiam, tidak ada yang berani menjawab. Perkataan Arok menampar kaum Brahmana yang ada di sana. Posisi mereka saat itu, serba salah. Saat itu, mereka semua benar-benar frustasi dalam mencari tabib. Sehingga, pemeriksaan yang biasanya dilakukan, di tiadakan.

Dang Hyang Lohgawe berpikir bahwa pertemuan kali ini hanya akan memecah belah para Brahmana. Alhasil, pertemuan itu ditutup dengan alasan hari sudah semakin larut. Arok menggerutu. Para Brahmana menyebar menuju bilik masing-masing dengan menundukkan kepala, mereka masih tertampar dengan perkataan Arok. Begitupun dengan Arok, pemuda itu telah berada pada posisi siap untuk tidur.

Sebelum benar-benar tertidur, Arok sempat merenung dan menatap langit-langit biliknya. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada perempuan yang menyelamatkannya.

Wajahnya cukup menggemaskan ... sepertinya, hatiku telah berpaling kepada perempuan penyelamat. Selamat tinggal Dedes, aku tidak akan mengusik kehidupanmu lagi. Persetan dengan rencana para Brahmana. Yang penting aku akan bahagia! batin Arok.

BERSAMBUNG

Keputusan Sang Stri Nareswari [TAMAT]Where stories live. Discover now