PESIAR

19 2 0
                                    

ALULA

Hari Jum'at menjadi hari paling bahagia bagiku. Aku dan Ghani berhasil menyelesaikan misi bela Negara meski tanpa Salsabila dan Faza. Aku bisa menyelesaikan misi itu dengan sempurna walaupun aku sangat mencemaskan Yeri yang mendadak pingsan di jalan. Sepertinya ia tak terbiasa melakukan aktivitas yang berat. Beruntungnya ada Faza yang selalu ada untuknya, jadi aku tak perlu khawatir berlebihan.

"Hari ini, saya memberikan tantangan kepada setiap kelompok, bagi kelompok yang menang akan mendapatkan tambahan waktu pesiar tiga jam, sepakat?" kata Widyaiswara Bela Negara kepada kami. Hari ini adalah hari Sabtu, sore nanti untuk pertama kalinya kami diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing, pesiar.

"Siap, sepakat Pak!" jawab peserta LATSAR serentak. Menarik sekali untukku dan untuk kelompokku, Ghani, Salsabila, dan Faza. Tiga jam adalah waktu yang berharga, kami pasti memenangkan tantangan ini.

"Yeri, boleh istirahat dan menonton teman-teman yang lain," kata Widyaiswara. Sayangnya, Yeri tak bisa mengikuti tantangan, otomatis ia tak mendapat kesempatan mengejar reward ini. Ia harus puas menonton di pinggir lapangan bersama tumbler-tumbler kami.

Faza memanggil kami bertiga untuk berdiskusi. Aku, Ghani, Salsabila, dan Faza, ke empatnya sangat bersemangat mengejar tambahan waktu pesiar. Semuanya sangat merindukan kamar masing-masing, terlebih aku yang sangat merindukan keluargaku.

"Jadi, nanti Alula di sesi awal karena Alula larinya paling kencang. Terus aku, Salsabila, dan terakhir Ghani. Kita harus memenangkan lomba lari di sesi awal, supaya kita nggak kelabakan mengejar ketinggalan, okay? Geng 207, semangat!" kata Faza memberi instruksi.

Kami berempat bersiap di garis awal, menang, menang, dan pasti menang. Demi tambahan waktu tiga jam saat pesiar. Aku sebagai ujung tombak kelompokku harus memberikan yang terbaik. Aba-aba untuk bersiap di garis start diucapkan oleh Widyaiswara. Ketika ia mengatakan mulai, aku langsung berlari sekencang mungkin melewati semua kegelisahanku selama ini, melewati rasa rindu yang teramat sangat pada keluargaku, dan berlari menuju Faza yang menungguku. Faza kemudian berlari saat aku sampai di posisinya, dilanjutkan Salsabila yang ternyata juga sangat kencang berlari, dan ditutup oleh Ghani, si penentu kemenangan kami. Mengejutkan, Ghani berlari bahkan lebih kencang dariku, pilihan yang sangat tepat Faza memberinya posisi di akhir. Dan, MENANG!!!!!!! Kami menang.

"Yeayyyyyy!!!!!" teriak kami berempat kegirangan. Akhirnya kami bisa pulang lebih lama. Rumahku, I'm coming! Aku sangat tidak sabar untuk pulang ke rumah. Terima kasih Geng 207, berkat kalian aku bisa lebih lama di rumah.

***

Pukul 16.15 di kamar 207. Aku, Salsabila, dan Yeri sangat bersemangat mengemas untuk pesiar, kami mengemas baju-baju kami. Tumpukkan pakaian kotor juga sudah menunggu untuk dicuci di rumah.

"Yeri, nanti aku minta tolong Faza bareng kamu pulangnya ya! Bang Samsul nggak bisa menjemput kan?" kataku pada Yeri. Aku khawatir dengannya setelah pingsan kemarin, aku takut ia pingsan lagi di taksi online. Kebetulan arah rumah Faza dan indekos Yeri sama, kupikir hal yang tepat jika mereka memesan dua titik saja.

"Iya, nanti pesan dua titik taksinya. Kan rumah kalian juga searah," kata Salsabila. Yeri pasrah dengan ide gila kami.

Selesai berkemas, aku, Yeri, dan Salsabila menunggu taksi online di lobi. Tak lama, taksi pesanan Salsabila datang. Lalu ia dengan semangat empat puluh lima buru-buru naik taksi pesanannya. Lima menit kemudian, taksi pesanan Yeri dan Faza datang. Mereka naik ke taksi dan meninggalkanku bersama Ghani.

"Kamu dijemput atau pesan taksi Ghan?" tanyaku.

"Aku ikut sama kamu ya!" kata Ghani. Aku mengerutkan dahiku tanda kebingungan.

"Hemmm, edit pesanannya jadi dua titik ya. Supaya hemat, kan kita satu arah," lanjut Ghani.

"Dasar pelit!" kataku. Ghani tertawa sambil menggaruk kepalanya.

Beberapa menit kemudian, taksi pesananku datang. Buru-buru Ghani membukakan pintu taksi untukku lalu ia menyusul naik setelahku. Di perjalanan pulang, aku dan Ghani tak berhenti mengobrol dari hal receh hingga hal serius. Tak terasa, aku sampai di rumah. Rasanya cepat sekali sampai di rumah, Ghani membuat perjalananku menuju rumah menjadi lebih seru.

"Terima kasih ya La membuat LATSAR-ku lebih berwarna," kata Ghani saat aku turun dari taksi. Aku tak bisa berkata-kata, entah mengapa kata-kata Ghani sampai ke hatiku. Iya, Ghani benar. LATSAR-ku menjadi berwarna karena ada Ghani tanpa kusadari.

"Sampai jumpa minggu sore," kataku lalu taksi itu berlalu meninggalkanku yang masih mematung memandang Ghani yang pergi bersamanya. Apa aku jatuh cinta dengan Ghani?

"Kak? Nggak mau masuk?" tanya Mkia, adikku.

"Eh, Kia. Iya, masuk Dek," kataku tersadar dari lamunanku. Kutepikan dahulu urusan Ghani, ini saatnya aku menghabiskan waktu di rumah. Aku merangkul Mkia dan masuk ke rumah. Di ruang tamu, ada Ayah dan Ibu menyambutku dengan hangat. Aku langsung memeluk ke duanya. Rindu sekali rasanya dengan mereka.

"Ayah, kenapa tambah kurus? Ayah sehat kan?" tanyaku khawatir. Kulihat tubuh Ayah semakin kurus dan tak bertenaga.

"Namanya juga sudah tua La," kata Ayah. Syukurlah jika Ayah baik-baik saja.

"Alhamdulillah. Alula masukkan barang-barang ke kamar dulu ya," kataku pada Ayah dan Ibu.

"Setelah itu ke meja makan ya La, kita makan sama-sama," kata Ibu. Aku merasa sudah tak pulang ke rumah satu tahun lamanya, rasanya sangat rindu dengan suasana rumah. Setiap sudut rumah ini, ada memori yang terekam dengan indah. Aku mengangguk dan masuk ke kamar. Di kamar aku melihat Kak Silma yang sedang berada di depan laptopnya.

"Lagi ngapain Kak?" tanyaku pada Kak Silma.

"Lagi ngerjain kerjaan kantor," kata Kak Silma. Aku takjub, akhirnya Kak Silma mau bekerja dan membantu keluarga ini.

"Di mana Kak?" tanyaku.

"Di dekat rumah, perusahaan kecil," jawabnya. Ia terus mengetik angka-angka di aplikasi Microsoft excel, sesekali ia melirik ke arah kertas yang ia pegang.

"Bukanya Kak Silma bermimpi kerja di perusahaan besar? Kata Kak Silma ke aku, kejar apa yang aku suka. Terus kenapa Kak Silma malah kerja di perusahaan kecil?" kataku. Ya, aku masih sangat ingat kata-kata Kak Silma, ia menyuruhku untuk mengejar apa yang kusukai. Dan sekarang ia bekerja di perusahaan kecil dengan gaji tak seberapa, kupikir ia tak menyukai hal itu. Aku menunggu jawaban Kak Silma, namun ia tak mengatakan apa pun. Ia terus sibuk dengan laptopnya. Sangat menyebalkan!

"La, Silma. Ayo makan!" panggil Ibu.

"Iya Bu," sahutku, lalu meninggalkan Kak Silma yang masih sok sibuk dengan pekerjaannya.

Pesiar, rasanya aku ingin sekali cepat-cepat minggu depan agar aku bisa berkumpul bersama keluargaku lagi. Walaupun kamar 207 dan geng 207 sangat menyenangkan, kehangatan keluarga ini tak bisa tergantikan. 

LATSAR XIX (ON CAMPUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang