2. Sebelah kaki

519 194 40
                                    

"Bisa kau anggap ketidak segejaan semata tuan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bisa kau anggap ketidak segejaan semata tuan?"

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

1938.



Asab asab menguap ke udara memenuhi pawon¹ kecil reyot, dua batu besar di jejerkan hingga membentuk sela diantaranya, meniup minup melalui bantuan bambu hingga bara menyala menjadi sebuah api, pipi tirus kusam kembang kempis diiringi dada yang kian naik turun, matanya memerah akibat asap api menyerobot masuk, terasa perih.

Sekendi air coba dimasak, menyisakan kepulan asap yang keluar dari pawon melalui lubang lubang diantara sela sela anyaman bambu.

Satu persatu kayu kayu kering kecil dimasukkan, memancing timbulnya api semakin besar. Lalu semakin cepet air masak.

Jarik lusuh tak bewarna basah dibagian ujung, menempel pada tanah yang basah terkena air.

Membenarkan sanggul, beralih pada dua batang ubi kayu, dikupas sedemikian rupa lalui dipotong menjadi empat bagian.

Udara menguapkan panas disekelilingnya, mengusap keringat, lalu lanjut dengan mencuci ubi.

Suara batuk batuk diiringi langkah semakin mendekat, wanita dengan kain yang tak lagi bermotif, uban sudah mendominasi rambut hitam, tanganya bergerak menyusuri ayaman bambu demi menopang sebagai berat tubuhnya.

"Masak apa kamu Marianna?"

"Ubi mak."

Marianna meraih sepotong kayu besar, meletakkan deket dengan sang Ibu, supaya bisa digunakan duduk oleh wanita itu.

"Apa bapakmu sudah pulang nduk?"

"Belom terlihat Mak, mungkin besok pagi bapak baru pulang."

"Kenapa bapakmu itu sering pulang pagi ya nduk," wanita tua itu menyelipkan nada khawatir dibalik ucapannya.

"Enggak perlu terlalu dipikirkan Mak, toh sudah biasa bapak pulang pagi."

Sepasangan mata menatapnya begitu lekat, Marianna menoleh, mata tua dan rentan itu menatapnya sendu.

"Sudah gadis rupanya anak emak."

Marianna membalas tatapan ibunya dengan seutai senyum hangat, wanita rapuh ini selalu memberikan kenyamanan bagi dirinya, tak perlu berfikir dua kali kemana arah ia akan pulang.

Matahari menyelundup masuk, digantikan dengan bulan yang tampak gagah menggantikan tugasnya.

Lampu lampu uplek ² sudah menyala dimasing masing rumah, mengikis ngelap walaupun tidak seberapa.

Anak anak beserta gadis sudah digiring masuk, menempati tikar daun sembari memakan ubi rebus bersama atau memilih untuk tidur lebih awal.

Tangan kurus Marianna menutup pintu, dua uplek ia nyalakan untuk mengusir gelap yang mencekam rumah, lantai tanah rumahnya terasa dingin, sepertinya malam ini akan turun hujan batinnya.

Marianna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang