23. Senja dibalik penghianat negri.

14 5 0
                                    

"Basir, pria yang meledak ledak, hampir seperti malapetaka bagiku"

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

1939.

Tangan Marianna memegang kursi yang tengah ia duduki dengan pandangan kosong, gadis itu tampak seperti hilang dalam alam pikirannya sendiri. Matanya yang kosong mencerminkan jauhnya pikiran, seolah-olah dia berada di tempat yang jauh dan tidak terjangkau. Wajahnya yang tenang namun terluka menyiratkan beban emosional yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Di antara kerumunan, dia adalah pulau sendiri yang tenggelam dalam refleksi diantara amarah yang mungkin hanya dimengerti olehnya sendiri.

"Apa pakde tidak salah orang,"tanyanya meragukan kebenaran atas perkataan Doyok barusan, telinganya berkedut gatal takut takut justru dirinyalah yang salah mendengar.

"Tentunya tidak salah," sanggah pria dengan uban disepanjang rambutnya.

Ada pertimbangan sesaat sebelum ia membuka mulutnya lagi, melanjutkan katanya yang sempat tertunda, "setelah kedatanganmu bersama Basir di pagi hari itu, tentunya Pakde akan mencari kebenaran yang sesungguhnya."

"Buka mata dan telingamu Nduk, semua yang tampak baik belum tentu dalamnya juga baik." ucapnya menciptakan gambaran yang hidup dari kebenaran yang ingin mereka bagikan.

Matanya tak sekosong dua menit lalu, rahang gadis itu bener bener menghadap Pakde Doyok, tidak terdengar sedikit pun nada gemetar dibalik suaranya yang lembut, "bagaimana bisa Pakde?"

"Begitulah cara kerja orang orang nakal Nduk, kita yang buta huruf ini hanya dibodoh bodohi untuk keuntungan mereka semata, dan sepertinya kali ini bapakmu yang menjadi korban mereka."

Gadis itu berjalan sendirian di tepi sungai Batanghari, sorot mata yang teduh mencerminkan kekecewaan yang mendalam. Langkah-langkahnya terasa berat, seolah-olah membawa beban emosional yang sulit diungkapkan. Cahaya senja dibalik pohon pinang menciptakan bayangan yang memperdalam ekspresi wajahnya yang murung. Tangannya yang merangkul tubuhnya memberikan petunjuk tentang perasaan kesepian dan kehampaan yang meliputi dirinya. Sungai yang mengalir tenang menciptakan latar belakang yang serba hening, seiring dengan kesedihan yang mengitarinya.

Dengan mata yang sedikit memerah dan bibir yang gemetar, Marianna berusaha dengan keras menahan tangisannya disepanjang pinggir sungai Batanghari. Ekspresi wajahnya mencerminkan perjuangan emosional yang mendalam, sementara matanya yang berkilauan berusaha keras untuk menahan air mata yang ingin mengalir. Genggaman erat pada kain jariknya menunjukkan upaya kerasnya untuk menjaga diri agar tidak hancur di hadapan orang lain.

Cahaya senja memberikan latar belakang yang dramatis, menciptakan suasana yang penuh emosi di sekitarnya, sore itu dipawah pohon jambu ditepi sungai Batanghari. Marianna melepaskan semuanya, tangisannya pecah mengiringi tenggelamnya matahari selasa sore.
Seperti hari hari sebelumnya, tak ada kabar baik yang gadis itu dengar.

Mariana duduk termenung di atas kursi tua, asap wedang jahe yang baru saja ia seduh menguap ke udara menjadi titik pandang kosong, matanya menyiratkan kehampaan yang mendalam. Sanggulan rambutnya sudah tak berbentuk lagi, bibir tipisnya tak lagi mampu membawa senyuman. Tangannya meraih secangkir gelas wedang jahe, mengalirkan kehangatan dalam setiap tegukan.

Marianna Where stories live. Discover now