3. Bapak dan sungai Tembesi

316 163 44
                                    

"Ketika musim kemarau telah tiba, ia akan menyisakan dedaunan yang rontok atau justru luka yang menohok?"

••••••••••••••••••••••••••••••••••

1939.

Terjadi jeda setelahnya, tak ada jawaban dari mulut yang Marianna ketahui bernama Basir itu, lelaki itu hanya diam sembari menatap kedepan.

Suara buah pinang yang jatuh menghiasi isi telinga mereka, angin pagi sejuk menerobos kulit mereka, masih terasa agak dingin dipagi ini.

"Beri tahu aku, siapa nama gadis manis disampingku ini?"

Marianna menoleh ke kiri, tatapan mereka bertemu.

Pipi tirus itu tampak mengembang menahan senyum, sebelah tangannya meraih anak rambut yang keluar dari gelungan, menyalurkan rasa salah tingkah.

Lelaki ini ternyata pandai merayu.

"Namaku Marianna," diikuti senyum yang mengembang.

"Marianna?" ulang lelaki itu.

Marianna mengangguk sebagai jawaban.

"Nama yang bagus, sebagus hati sang pemilik nama," Basir tersenyum lebar, tampak begitu tulus lelaki itu memujinya.

Marianna terperanjat dari duduknya, ingatannya kembali berputar.

Tangan kirinya menepuk nepuk jarik bagian belakang,menepis kotoran yang menempel di kain itu.

"Maafkan aku mas Basir, sepertinya aku harus pergi."

Basir berdiri, menyamakan tinggi tubuhnya dengan gadis didepannya.

"Kenapa secepat itu kau pergi?"

"Lain kali dapat ku jelaskan," tangan kanan gadis itu menyodorkan bungkus daun pisang.

"Apa ini?"

"Kemarin malam aku sudah menumbuhkan daun binahong, lumurkan pada lukamu, maka luka itu akan segera mengering"

Basir menimang nimang bungkus daun pisang itu, mulutnya hendak terbuka namun kembali tertutup rapat ketika netranya menangkap gadis itu telah dua langkah menjauh darinya.

Gadis bersanggul itu tampak ayu dilihat dari belakang, apalagi menatapnya dari depan.

Senyum manis terbit diantara wajah kusam Basir.

Jalanan sudah cukup ramai,anak anak gadis menampah padi didepan rumahnya masing masing, kadang kala diselingi tawa yang menghiasi wajah mereka.

Marianna merapikan sanggulnya sembari berjalan, kaki telanjangnya itu menyusuri rumah rumah panggung milik warga.

"Marianna!"

Seseorang memanggilnya dari arah belakang, dengan spontan Mariana membalikkan badannya.

Gadis dengan jarik bermotif bunga bewarna coklat pekat itu berlari mendekat, sanggulnya tampak rapi ditambah kebaya yang melilit badannya begitu pas, membentuk tonjolan tertentu dibagian dada, tampak sempurna, pantas saja banyak lelaki yang tergila gila pada Marsih.

"Ada apa Gayatri?"

"Aku punya kabar untukmu," jawab gadis itu.

"Kabar apa?"

Gayatri tampak mendekatan mulutnya pada telinga Marianna, membisikan sesuatu lalu diikuti senyum menggoda yang timbul.

"Mas Banyu menitipkan salam untuk mu."

Marianna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang