CHAPTER 37 [Stay With Me]

43 11 0
                                    

.










Malam ini kediaman Deon Pangestu Wijaya terlihat ramai dari biasanya. Semua keluarga Wijaya berkumpul dalam rangka arisan keluarga.

Setelah seharian bersosialisasi dengan kerabatnya, Azalea merasa lelah setengah mampus. Ia perlu mengisi baterainya di kamar. Beruntung Saira dan Anggi mau diajak melakukan panggilan video, sehingga ia tidak begitu kesepian.

'Gue curiga Bang Arsen suka sama gue.' ---Saira.

'Dih! Pede amat, Mbak.' ---Anggi.

'Gue serius ini. Masa dia tiba-tiba chat minta save nomor. Terus sering reply SW gue. Nanya-nanya banyak biar nggak mati topik pas chatan.' ---Saira.

"Gabut doang itu. Gue kasih tahu ya, Arsenio itu playboy. Sebulan tuh, mantan dia bisa lima lebih." Azalea ikut menimbrung dalam percakapan, meski matanya fokus membaca jurnal ilmiah di meja belajarnya.

'Tau gue.' ---Saira.

"Habis mutusin Kak Sinta kemarin, dia pacaran sama anak IPS. Tiga hari putus, terus dekatin adek kelas IPS juga, tapi gak sampai pacaran. Dan ini ... dia dekatin kamu? Please, jangan kejebak, Sai."

Kali ini Azalea benar-benar memandang layarnya. Jika dilihat dari gerak-gerik Saira yang sering membawa tema tentang si Pangeran Binus itu, sepertinya gadis itu mulai tertarik bujuk dan rayuan. Azalea tidak mau sahabatnya itu menjadi korban keganasan buaya darat semacam Arsenio.

'Lengkap bener. Tau dari mana?' ---Saira.

"Dapat info dari orang random."

'Ck! Lupa lo, Sai? Mbak Azalea ini intel berkedok pelajar di Bina Nusantara.' ---Anggi.

'Azalea. Lo 'kan adik Bang Jovian. Nah, Bang Jovian 'kan temannya Arsenio. Lo nggak ada niatan gitu, bantuin gue cari info tentang dia? Tanya-tanya gitu ke Bang Jovian persepsi Arsenio ke gue.' ---Saira.

Mendengar ucapan Saira, Azalea tampak tertegun. Ia menutup bacaannya dan beralih menatap ke layar tablet yang digunakan untuk video call. "Pertama, dia bukan abang gue. Kedua, Arsenio cuma main-main, jangan tergoda. Gue ada urusan, byebye."

Azalea segera memutuskan sambungan, tanpa menunggu respon dari seberang. Kemudian beranjak dari meja belajarnya, berdiri di tengah-tengah ruangan bernuansa merah itu. Pandangannya terpaku pada lukisan bunga mawar merah dan bunga matahari di dinding. Lamat-lamat Azalea tersenyum tipis dengan netra berkaca-kaca.

"Seharusnya bunga matahari itu kini tengah mekar bersama, berdampingan dengan bunga mawarnya. Aku nggak nyalahin bunga matahari, kok. Dia nggak kejam, tapi dunialah yang kejam sama si bunga matahari. Maaf ... bunga mawar gagal melindunginya."

***

"Woi, serius? Tiba-tiba?"

Dika mengangguk tanpa ragu. Sementara ia masih sibuk membereskan beberapa barangnya ke dalam tas besar, mengabaikan sahabatnya yang kini memanda
ng dengan heran.

"Lo ngapain, dah? Perasaan dulu nolak banget pas orang tua lo nyuruh tinggal di asrama."

"Gabut."

"Alasan apa itu anying!?"

Farel sampai mengusap wajah frustasi karena tingkah sahabat karibnya itu. Mereka sudah berteman sejak kecil, karena kebetulan rumahnya berdekatan. Farel hapal betul dengan si anak tunggal yang dimanjakan keluarganya ini.

Awal masuk sekolah kelas satu SMA dulu, orang tua Dika meminta anak itu agar tinggal di asrama saja, biar mandiri katanya. Namun, Dika menolak dengan berbagai macam alasan. Sehingga akhirnya orang tuanya yang mengalah. Lagi pula jarak rumah ke sekolahan tidak begitu jauh, bahkan bisa dilaju dengan jalan kaki.

[1] ESTRELLA (END)Where stories live. Discover now