15. The Curtain of Truth Unfolds

219 36 11
                                    

"Clara?!"

Mielle tidak sadar bahwa suaranya cukup keras untuk didengar Penyihir Agung, ia menghentikan kudanya lalu menoleh ke kerumunan tempat Mielle berdiri.

"Halo, Nona Mielle," Idina tersenyum. Hal ini tentu saja mengundang rasa penasaran Mielle. Biasanya, orang-orang yang ia kenal di dunia ini dengan nama berbeda akan terkejut ketika Mielle memanggil mereka menggunakan nama yang tidak pernah dimiliki sebelumnya.

"Clara, tunggu!"

Baru saja hendak mendekat, murid-murid Idina mengacungkan pedang dan tongkat sihir. Kerumunan terkesiap melihat perseteruan mereka. Mulanya Idina ingin menghindar, tapi ia juga tidak seharusnya terus-menerus menghindari Mielle untuk menyembunyikan kebenaran. "Turunkan pedang dan tongkat kalian, bawa Nona Mielle bersama kita."

"Tapi Nona Id-"

"Apakah kalian pernah ku ajarkan untuk menjadi pembangkang?" pertanyaan yang dilontarkan dengan nada dingin berhasil membuat mereka meneguk ludah kasar. Tanpa menunggu lama, salah seorang dari mereka yang naik kuda pun turun dan mengarahkan Mielle naik ke kudanya. Sebenarnya gadis itu merasa bingung dan takut, apakah ia harus menaiki kuda dan ikut bersama rombongan penyihir ini? Namun kekhawatiran Mielle sangat bisa dibaca oleh Idina. "Ikutlah denganku, pencarianmu akan berbuah lebat."

Seperti ada lonceng yang berdentang dalam kepalanya, Mielle langsung menepis segala rasa cemasnya demi mendapatkan jawaban yang selama ini ia cari. Lagipula yang di depannya ini adalah Penyihir Agung, apa yang perlu dikhawatirkan?

Lalu ia segera menerima uluran tangan pria itu dan naik ke atas kuda, meninggalkan kerumunan yang mulai berbincang dan berbisik. Mielle mendengus, pasti akan ada rumor baru.


-


"Jadi beritahu aku, Clara." Mata Mielle berbinar menunggu kira-kira apa jawaban yang akan diberikan Idina.

Idina melambaikan tangannya kepada kedua muridnya, memberi tanda bahwa mereka harus keluar karena pembicaraan ini adalah sesuatu yang sangat rahasia. Lantas, telapak tangan Idina seperti membentuk sebuah pola acak di udara dan cahaya kebiruan muncul untuk menyelubungi keduanya.

"Woah..sangat keren," kepala Mielle menoleh kesana dan kemari. Semenjak ia datang kemari, ini baru kali pertama Mielle menyaksikan sihir sungguhan, bukan sihir tipu-tipuan yang ia lihat di karnaval. "Ini semua untuk apa?"

"Untuk melindungi kita, bisa dibilang agar kita tidak terlihat, tidak terdengar, dan kebal ancaman?" Idina mengangkat kedua alisnya karena Mielle terkesiap untuk sekian kali. "Oh iya, juga tolong jangan panggil aku dengan nama samaranku."

Mielle jadi bingung, nama samaran?

Bakat membaca pikiran Idina sangat kuat, sehingga ia merasakan suatu kewajiban untuk menjawab pertanyaan dalam benak Mielle.

"Aku hanya aku, Mielle. Tidak ada aku yang lain di semesta ini, begitu pula semua Penyihir Agung di dunia ini. Idina, Idina namaku."

"Jadi, kamu mengelilingi semesta, Idina?" Idina mengangguk.

"Bisa dibilang begitu, ada banyak sekali dunia dan kehidupan yang saling berdampingan. Baik yang berjalan dengan keadaan dan waktu yang berkebalikan, maupun dunia yang dihuni makhluk-makhluk luar biasa dengan bakat luar biasa. Semesta sangatlah luas, apa yang kita tahu mungkin hanya sebesar butiran gula."

Mielle terdiam meresapi perkataan Idina, "Lalu apa yang terjadi padaku?"

"Apanya yang bagaimana?" Penyihir Agung itu pura-pura tidak paham agar Mielle bisa memperinci pertanyaannya.

"Bagaimana bisa aku berakhir disini? Kalau memang dunia itu berdampingan dan sifatnya paralel, harusnya aku ada dua 'kan? Jika aku berpindah kemari apa yang akan terjadi dengan aku di dunia-"

Eternal GardenWhere stories live. Discover now