26B

730 36 1
                                    

Setelah matahari lumayan tinggi, Kiara dan Hadi memutuskan untuk beristirahat dan shalat serta makan. Dari broken beach, keduanya berjalan ke arah utara. Keadaan di sebelah utara berbeda dengan selatan dan barat.

Yang mana jika di sebelah selatan dan barat penuh dengan tebing-tebing tinggi, di sebelah utara lebih datar. Bahkan Kiara bisa mencelupkan tangannya di air laut yang biru itu saat ombak datang menerjang.

"Eh, kamu ngapain, Sayang? Bahaya, tau," omel Hadi dengan wajah cemasnya.

Kiara hanya meringis saja, ia menjilat tangannya yang tadi terkena air laut. Ingin tahu bagaimana rasanya.

"Asin," gumamnya.

"Kayaknya itu asin tangan kamu deh. Bukan air lautnya. Dari tadi belum cuci tangan, kan?" ledek Hadi.

Kiara manyun lima centimeter. Masa iya tangannya di bilang asin. Yang asin air lautnya, bukan tangannya.

Perempuan itu jalan duluan dengan bersungut-sungut, ia menyusuri jalan pulang sambil ngomel-ngomel tidak jelas. Hadi menyusul di belakangnya sambil terkekeh. Sekarang ia tahu sifat asli istrinya, suka ngomel.

"Mau foto di sana, nggak?" tanya Hadi saat mereka melewati spot foto berupa sarang yang terbuat entah dari apa, ia tidak tahu.

Kiara menggeleng seraya berbisik tepat di telinga suaminya. "Mahal, masa iya 5.000."

Hadi terkekeh. Istrinya ini sangat perhitungan sekali. Padahal uangnya masih cukup jika harus membayar lima ribu rupiah saja. Tapi ia tak mendebat, menurutnya, Kiara pasti punya manajemen uang sesuai prinsipnya.

Karena sebentar lagi masuk waktu dhuhur, keduanya lantas membeli makanan untuk dibungkus dan dibawa pulang. Setelah membeli makanan, keduanya pulang ke tempat menginap untuk shalat dhuhur di sana. Selesai shalat dhuhur, barulah mereka makan apa yang tadi mereka beli.

"Ombe," panggil Kiara sedikit ragu.

"Ya?" jawab Hadi seraya membuka kotak makan siangnya.

"Di Bali kan mayoritas Hindu. Terus kalau kita makan unggas atau kaki empat, emangnya nggak papa?" tanya Kiara sedikit tidak yakin.

Hadi menggeleng sebagai jawaban. Jujur saja, ia tidak tahu itu. Sebelumnya ia tidak pernah riset tentang hal tersebut, karena ia percaya pasti halal.

"Unggas sama kaki empat kan harus disembelih dengan cara benar supaya jadi halal. Kira-kira mereka ngambil dagingnya di tukang sembelih islam atau bukan, ya?" gumam Kiara seraya membuka kotak makanannya.

"Nggak tau, Sayang. Tapi kayaknya halal deh. Tapi kalau kamu ragu, mulai sekarang kalau di Bali, kita makan binatang air aja. Kayak seafood ataupun ikan air tawar. Itu kan nggak perlu disembelih."

Kiara mengangguk. Saat ini mereka memang membeli makan siang dengan lauk seafood. Sebenarnya Hadi ingin lauk kambing, tapi Kiara menolak dan memilih seafood untuk mereka berdua. Sekarang Hadi baru tahu alasan Kiara memilih seafood. Istrinya itu ragu dengan daging yang harus disembelih.

Salahnya mereka sendiri sih tidak riset mendalam sebelum bepergian. Kan jadinya bingung sendiri.

"Nanti aku bakal riset lebih jauh," kata Hadi.

"Nggak usah, deh. Selama di sini kita makan seafood aja. Aku lebih suka seafood daripada unggas dan kaki empat," sahut Kiara sambil terkekeh.

Maklumlah, kampungnya jauh dari laut. Sehingga ia jarang bisa makan seafood. Kalaupun di pasar Muara Bulian ada yang menjual seafood, itu pasti sudah di es. Atau kalau tidak, sudah bau karena busuk.

Karena malas bertemu dengan seafood yang tak layak konsumsi, ia lebih memilih ayam ataupun ikan air tawar saja. Dan sekarang saat ia berada di daerah laut, ia lebih memilih makan seafood.

🌿🌿🌿

Terpaksa Menikahi Om-om (Tamat)Where stories live. Discover now