36. Kecewa

61 12 5
                                    

HARI berlanjut, semua berlangsung sebagaimana prediksi sebelumnya. Nggak ada yang baik-baik aja, nggak ada yang beres dari kepergian Ia. Heran, Ia setega apa sih sampai hati dia ninggalin seisi rumah gini. Ini udah lebih dari izin dia ke Jogjakarta dan belum ada tanda-tanda Ia bakal pulang. Handphone-nya mati, kabarnya nggak ada, ke mana sih Ia? Dia bahkan nggak ngomong alamat yayasan penderita kanker yang dibilang dulu.

Ia sebenernya mikirin anak-anaknya nggak sih di sana? Khadijah udah nangis-nangis cariin dia, beruntung Abdullah bisa diharapin buat tenangin adik perempuannya sekalipun gua ngerti sebagai sesama anak sulung dan sebagai anak laki-laki Abdullah harus lebih kuat menahan beban dari kejadian ini. Dia terus meluk adiknya, bisikin sesuatu sampai Khadijah berhenti sesenggukan menerima harapan dari bisikan Abdullah.

Kita sekarang juga tidur berempat, Abdullah praktekin cara Uminya nepuk Khadijah sampai anak perempuan itu merasa sedikit tenang akan pencariannya hendak bertemu Ia. Sedangkan Edzar di bawah penanganan gua, beberapa hari setelah Ia pergi dia emang udah mulai rewel. Sempat gua bawa ke Umi, karena nggak tahu harus ngapain lagi, tapi Edzar selalu nolak tinggal di sana. Dia malah tambah nangis kalau nggak pulang ke rumah ini. Jadilah gua bagi tugas dengan Abdullah.

Napas Edzar udah makin berembus panas di pundak gua, seluruh tubuhnya melemas dengan mainan jemarinya mengetuk lemas punggung gua sebagai luapan terakhirnya. Sesekali dia bisik manggil Uminya, gua nggak tahu harus yakinin bocah dua tahun ini dengan kalimat apa. Udah terlalu lama gua janji Uminya akan pulang sedang gua pun belum tahu sama sekali kapan Ia pulang. Gua cuman makin memendam emosi ke Ia setiap denger lirihan anak-anak yang dia sayangi dulu, sekarang dibiarin terlantar tanpa kabar apa pun.

“Edzar, mau es krim, Nak?”

“Nggak,”

“Terus Edzar mau apa? Ayo kita beli, buat Kakak juga,”

“Nggak. Umi malah,” balasnya singkat seolah di hadapannya ia sedang berhadapan dengan Uminya.

“Ya udah Edzar makan dulu ya, habis itu tidur di tempat Umi,”

“Nanti Umi pulang bobo chama Echal?” balasnya balik bertanya, membuat genderan di dalam dada gua seolah berhasil mendengung keras mendengar pertanyaan Edzar barusan. Gua bahkan ketakutan untuk ngasih jawaban apa ke Edzar.

“Umi malah tama Echal?” tangis Edzar meruah, terberai-berai lantah mengingat terakhir kali Ia sedang merajuki Uminya.

Hush, hush, hush, Umi nggak marah sama Edzar, di luar sana Umi lagi tolong dulu temen Edzar yang sakit. Jadi belum pulang,”

“Unggak! Abi … boong. Nanti Echal bilang Umi!” Edzar meledak-ledak memukuli pundak gua dengan jemari kecilnya. Gua nggak bisa ngapa-ngapain selain terus tenangin Edzar.

Ini yang paling nggak gua harapin, Ia berusaha ngebuat gua kesel dengan segala tingkah konyolnya. Dia tahu gua nggak bisa hidup tanpa dia, kenapa tiba-tiba dia ninggalin gua? Okey, mungkin gua nggak bisa pahamin hidupnya, tapi telinga gua masih sehat kalau dia emang pengen ngomong hal apa yang ngebuat dia muak hidup bareng gua.

Kenapa dia harus lari? Kenapa dia harus menjadikan orang lain sebagai korbannya? Kenapa harus anak-anak yang jadi dikenakan imbasnya? Mereka nggak paham apa-apa, Ia mikirin nggak itu? Gua serius, sampai tiga kali Ia ingkar dengan tiap pekannya dia sama sekali nggak pulang, gua akan ngambil langkah yang bener-bener Ia pengenin. Kalau perlu, gua yang akan nyari Ia sendiri di Jogja.

Memasuki pekan menuju pekan ketiga ini gua masih berharap banyak dengan kepulangan Ia segera, naas dia sama sekali nggak ngasih gua harapan seberkas pun untuk memaafkan Ia. Gimana gua nggak marah, gua ngerasa dikecewakan sekaligus Ia udah nyakitin anak-anak. Gua bingung hadapin anak-anak yang tiap malamnya harus nangisin dia yang nggak kunjung pulang, belum Edzar yang makin ngebuat gua khawatir dengan kondisi dia sekarang. Sampai anak-anak kenapa-napa, gua nggak akan ngasih maaf ke Ia mau sampai dia berlutut pun depan gua!

IA & IOWhere stories live. Discover now