44. 4th (Last of Io's POV)

53 13 0
                                    

TIGA bulan kemudian, gua pulang agak telat karena mesti ngikut kunjungan ke showroom di mall-mall Bandung. Rumah udah sepi dari suara bising anak-anak, mungkin udah pada tidur, pintu rumah juga nggak dikunci, ini sampai ada maling yang masuk, habis Ia.

Masuk ke kamar, Ia udah di sana beres-beresin selimut yang malam ini diganti lagi jadi warna pink, gorden semua pink, kimono mandi jadi pink, apa-apa jadi pink. Ia di sana jadi mencolok sendiri dengan dress kebesaran Ia depan gua, si blacky, yang udah pas lagi setelah tujuh tahun lamanya jarang dipake. Cantik.

Assalamu’alaikum,” ucap gua yang memecah kegiatannya di sana, ngeliat gua dateng Ia buru-buru datengin gua terus geledotan selekat mungkin di bahu gua, hidung kita bertumpu sambil senyumnya merekah lagi. Belum juga dijawab salamnya, udah pengen romantis-romantisan aja. Jawab salam dulu kek, jawab salam hukumnya wajib loh dan mesti dijawab lengkap. Jawab salam kan termasuk hak orang juga.

“Seneng banget sampai lupa jawab salam, kenapa sih?”

“Hehe, wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh,”

“Gitu dong, kalau udah salam baru dibolehin minta apa aja. Ia mau minta apa nih? Tumben-tumbenan banget nyambutnya beda,”

“Hish, emang aku boleh nyambutnya beda kalau ada maunya doang, ya?” Dia cemberut lugu sambil ngeratin lagi kalungannya di gua, mau nggak mau kan gua ikut pegangin biar nggak pegel dia jinjitnya. Derita bini bukan model, tingginya mesti harus kita yang mengondisikan.

“Terus, kenapa kalau gitu?”

“Pengen cerita, tapi Io nggak boleh kaget,”

“Cerita apa tuh?”

“Mm, makasih,” ucapnya yang nggak tahu habis gua kasih apa, tiba-tiba udah tersipu, senyumnya tercetak malu bertumpu di pipi gua.

“Buat?”

“Makasih karena masih percaya ke aku untuk jadi ibu anak keempat kamu,” bisiknya yang jadi makin merendah. Gua yang denger dia ngomong gitu, jadi terkejut yang keempat kalinya lagi. Tas jinjing gua sampai jatuh dari belakang pinggang Ia, bola mata gua udah berusaha nyari Ia yang lekat nggak pengen ngasih space, yang dicari udah menenang di pipi gua yang ciumnya nggak pernah anarkis, tenang aja gitu. Gua yang jadi tempatnya pun jadi ikutan tenang.

Ia hamil?

Ia jadi gendutan lagi?

Ia hobi makan lagi?

Oh, Goodness!

Terima kasih atas titipan-Mu ini lagi ya Allah. Janji hamba akan selalu jaga Ia dan para titipan anugrah-Mu ini. Izinkan hamba menjadi laki-laki yang akan terus mendampingi mereka ke mana pun langkah mereka akan berlabu kelak, dan terima kasih telah menakdirkan hamba kepada jodoh terbaik versi-Mu, terima kasih sakinah-Mu, terima kasih menitipkan cinta kepada dia yang memiliki cinta besar kepada hamba.

Terima kasih misteri-Mu, aku mencintainya.

“Salah tempat, A!” ucap gua membenarkan kembali ke mana seharusnya Ia mendaratkan bibirnya mencium.

Di sini, A, di nomor sepuluhmu.

***

~SEHARUSNYA UDAH SELESAI~

Harusnya udah selesai guys, xixixi, tapi nanggung ada POV Mbak Ia sekitar beberapa chapter (1 chapter jg boleh keknya deh, tapi panjaaaaaang:v) buat jawab yang nggak sempat terjelaskan di depan Mas Cuamiii, bahkan sampai ending belom ketahuan Io.

Jadi boleh ya lanjut dikit, anggep aja sekuel singkat dari Mbak Ia dalam bentuk extrapart, xixixi 😁

Terima kasih sebelumnya sudah membaca lapak Ia & Io. Segala yang baik semoga menjadi manfaat buat kita, karena jujurly di tulisan ini juga aku lumayan berguru khususnya yg buat teori pranikah 🤣 yang buruk-buruk jangan diambil, jangan dipendam di perasaan, apalagi dicontoh, xixi. Mohon dimaafin aja, hehe.

Terima kasih, sampai jumpa di tulisan lainnya! 🖐🏻

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 01 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

IA & IOWhere stories live. Discover now