BAB 41 | Arrival The Intruders

178 15 0
                                    

"Tujuan kami datang ke sini untuk bertanya, Miss Apa Anda tahu lokasi pohon elm berada?" Tanya Luna.

Wajah wanita tua itu tiba-tiba berubah tegang, tangannya bergerak cepat langsung menggenggam tangan Luna erat sehingga membuat Luna meringis karena merasakan sakit pada pergelangan tangannya.

"Dia sepertinya sudah gila." Haden berbisik pada Janessa, yang sejurus kemudian langsung mendapat senggolan keras dari gadis tersebut.

"Maaf, Miss. Bisa lepaskan? Anda menyakiti saya." wajah Luna mengeruh. Pergelangan tangannya benar-benar terasa sakit.

"Untuk apa kau mencari tempat itu Larissa? Biarkan tempat itu hilang dan tidak pernah ditemukan."

Menahan sakit, Luna tetap bersikukuh untuk bertanya lagi. Ia harus mendapatkan jawaban apa pun keadaannya "tapi kami akan tetap ke sana. Ada nyawa yang harus di selamatkan. Miss Raffles, bisakah Anda memberi tahu lokasi tempat itu?"

Perhatian wanita tua itu tiba-tiba beralih. Wajahnya seketika berubah serius, lalu sedetik kemudian kecemasan ikut muncul di sana.

"Mereka datang." ucap Anne. Nada suara wanita itu ketakutan, serupa dengan ekspresi yang ia tunjukan saat ini.

Haden langsung bergerak menuju jendela dan menyibak setengah tirai yang menutupi jendela tersebut. Matanya memindai area luar di depan rumah Raffles. Sekitar lima orang berjubah hitam berjalan mendekat dari arah jalan dan kemudian masuk melewati pagar rumah.

Haden mengumpat tanpa suara dan menutup kembali tirai tersebut, lantas menoleh ke arah Luna dan Janessa.
"Para bajingan pengikut Blackton."

Anne semakin meremas pergelangan tangan Luna, tubuhnya bergetar ketakutan. Sementara Luna berusaha membebaskan cekalan tangan wanita itu darinya.

"Luna, tetap bersama Mrs. Raffles. Biar aku dan Haden mengulur waktu. Bawa Miss Raffles pergi dari sini secepatnya," ucap Janessa. Luna menghentikan usahanya membebaskan diri, ia melotot tak menyetujui ucapan Janessa.

"Tidak, aku tidak bisa membiarkan kalian berdua melawan mereka. Bagaimana jika mereka membunuh kalian?"

"Well, mereka juga ada lima orang dan kita hanya..." Timpal Haden, mengangkat dua jari mengisyaratkan mereka hanya dua orang jika tanpa Luna.

"Lebih baik dua dari pada tiga. Mereka datang ke sini pasti juga mendapatkan petunjuk sama seperti kita. Karena itu, Miss Raffles tidak boleh bertemu mereka dan Luna, kau adalah incaran mereka," ucap Janessa berusaha membuat Luna mengerti.

Luna menghembuskan nafas berat, ia tidak bisa membalas kata-kata Janessa karena ucapan gadis itu memang benar, tapi ia tetap tidak suka dengan ide ini. Luna merasa menjadi satu-satunya orang yang tidak bisa membantu apa-apa.

"Stay here."

Selepas kepergian Janessa dan Haden, Luna segera membantu Anne bangun dari tempat tidurnya "ayo Mrs. Raffles, kita harus pergi dari sini." Ia meletakan satu lengan wanita itu dibahunya dan membawanya keluar dari kamar, lalu berjalan menuju dapur berniat keluar dari pintu belakang.

Sementara itu, Janessa dan Haden berjalan pelan, was-was saat lampu yang sebelumnya telah di nyalakan kembali padam.

Detak jam menjadi satu-satunya suara yang bisa terdengar. Kedua remaja itu memindai keadaan sekitar, namun pencahayaan yang kurang benar-benar menyusahkan mereka untuk melihat.

"Hei, Boy. Cepat nyalakan lampunya, aku tidak bisa melihat apa-apa."

Janessa menggenggam tangan Haden saat sebuah suara berat terdengar di sekitar mereka. Orang-orang itu rupanya tidak tahu keberadaannya dan Haden.

"Oh diamlah, rumah ini sudah jelek," sahut suara lain.

"Kita pergi dari sini?" Bisik Haden, jantungnya sudah benar-benar berpacu cepat saking tegangnya.

Janessa berdesis, meremas tangannya "kita harus tetap di sini dan memberi waktu agar Luna bisa kabur bersama Anne."

Haden mengumpat tanpa suara lalu menutup mulutnya, pasrah.

Terdengar bunyi saklar yang di tekan berkali-kali, hingga akhirnya lampu menyala dengan terang. Dan saat itu juga, Janessa langsung melemparkan serangan pada orang yang pertama kali dilihatnya.

"Gadis sialan!" Maki seorang pria. Wajahnya cukup familiar bagi Janessa.
"Bill?"

Janessa tak percaya dengan penglihatannya. Pria itu Bill Grover- teman ayahnya. Meski Janessa jarang bertemu pria itu, tapi ia ingat wajah yang sering memberikan senyum padanya itu setiap kali bertemu.

"Chaster, eh?" Bill menyeringai, membuat emosi Janessa terpancing. Ia langsung menyerang laki-laki berelemen tanah itu dengan putaran air cukup kuat, namun Bill menahannya dengan perisai yang terbuat dari tanah.

Pria itu tertawa remeh, memandang Janessa dengan rendah "You can't beat me girl."

Bill melayangkan tanah berbentuk panah-panah kecil ke arah Janessa, membuat Janessa dengan sigap membentuk perisai air menahan panah itu mengenainya, namun satu panah lolos dan menggores lengannya.

Janessa mengaduh, memegangi lengannya yang tergores dan meneteskan sedikit darah. Sementara Bill tersenyum puas.

Janessa menggeram, matanya menyorot tajam, sementara tangannya bergerak, ke arah samping. Sebuah meja kayu yang ada di sana terangkat perlahan dalam gelembung air, lalu di detik kemudian Janessa melemparkannya ke arah Bill. Namun pria itu lebih sigap menahan meja itu dengan perisai tanahnya yang kokoh. Gelembung itu pecah dan mencipratkan air, sementara meja tersebut jatuh ke lantai dan patah.

Janessa menggeram kesal. Kembali melakukan hal yang sama terhadap barang-barang di sekitarnya, lalu melemparkannya ke arah Bill yang lain-lagi dapat pria itu atasi dengan mudah.

Bill mendenguskan hidung, pria itu menunjukkan ekspresi bosan "sekarang gilianku." Dia tersenyum dan mulai mengangkat tangannya.

Tanah-tanah kecokelatan melayang diudara, lalu dengan perlahan berubah menjadi bulatan-bulatan kecil serupa peluru pistol. Bill tersenyum remeh sebelum melemparkan peluru tanah itu menghujam ke arah Janessa yang terlambat membuat perisai sehingga peluru itu dengan mudah mengenai setiap bagian tubuhnya.

Janessa terjatuh, gadis itu meringis merasakan denyutan pada beberapa bagian tubuhnya yang sakit. Peluru-peluru tanah itu meninggalkan noda kecokelatan di badannya, membuat Janessa mengernyit merasa jijik.

Bill menghela nafas puas, laki-laki itu berjalan mendekati Janessa dan menatap rendah gadis tersebut.

"Berterima kasilah karena aku tidak langsung membunuhmu."

Janessa berdecih, menatap tajam laki-laki sialan itu.

"Dasar bajingan brengsek!"


To Be Continued

The Frost Souls ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora