part 31.

1.3K 127 10
                                    

Aku berangkat dulu ke rumah Ayah. Nanti Bapak nyusul aja kalau udah selesai. Semua kopi Bapak yang pernah aku sembunyiin, udah aku balikin ke tempat semula. Jadi enggak perlu beli kopi lagi.

P.s
Lauk sarapan udah aku siapin di kulkas. Angetin aja pakai microwave.

Rega menghela napas berat. Dicabutnya sticky note itu dari pintu kulkas. Lantas melipir ke kursi tinggi meja bar. Dia duduk di sana, memperhatikan tulisan tangan Marwah. Hubungannya dengan perempuan itu terasa sangat asing. Obrolan yang akhir-akhir ini intens dilakukan tergantikan oleh pesan singkat, atau secarik kertas seperti barusan. Perubahan sikap Marwah juga benar-benar drastis. Dan Rega belum siap menerimanya. Bahkan, jujur saja, setiap kali Marwah memanggil "pak," hatinya memberontak tidak rela. Setiap kali Marwah tak acuh pada jumlah kopi yang dikonsumsi, dirinya menjadi uring-uringan sendiri. Tak jarang pikiran kekanakan---memecahkan gelas guna mencari perhatian---nyaris direalisasikan. Aneh, memang. Rega pun tidak tahu akan apa yang sejatinya diinginkan. Ibarat kata, dekat segan, jauh kebetatan.

•••

Suara tawa bariton terdengar dari ruang tamu. Sementara, obrolan ringan mengisi dapur yang sedang ditempati para perempuan. Lalu hentakan kaki-kaki kecil yang berlarian, serta celotehan sumbangnya melengkapi suasana rumah pak Lukman.

Malam nanti syukuran akan diadakan. Banyak sanak saudara yang berdatangan untuk membantu menyiapkan keperluan.

Marwah mengangkat ponsel di depan wajah, mendapati pantulan Rega yang sedang memperhatikannya diam-diam dari belakang. Entah apa yang ingin laki-laki itu sampaikan, tetapi gelagatnya yang demikian sukses membuat Marwah makin semangat untuk menghindar. Bukan. Marwah bukan sedang sok jual mahal. Hanya saja, melihat Rega yang langsung buang pandang ketika terpergok terasa menyenangkan. Belum lagi jika dia yang kontan menengguk minuman atau menunduk dalam sebagai peralihan. Lalu, tak lama setelahnya kembali lirik-lirik.

Tersenyum tipis, Marwah mengantongi gawai dan bangkit dari posisi duduk bersila di karpet ruang keluarga. Dia masuk ke dalam. Kali ini Marwah sengaja membiarkan. Selain ada banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan, Rega juga sedang bersama para kerabat. Kasihan jika sampai diledek sebab ketahuan salah tingkah.

Pukul 19.00, orang-orang berdatangan. Karpet yang digelar di ruang tamu sampai ruang tengah sudah dilengkapi dengan berbagai hidangan.

Rega menempatkan diri bersama kumpulan laki-laki. Koko putih, celana kain hitam serta kopiah di atas kepalanya sangat rapi. Sama seperti biasa, dia tak banyak bicara. Senyum yang tertarik di bibir lebih sering digunakan untuk menanggapi guyonan khas bapak-bapak. Misalnya ketika ada yang menyamakan wajahnya dengan salah satu artis muda ibu kota. Atau, memuji bentuk badan yang atletis bak seorang model. Meski tertutup busana, otot dada serta lengan atas Rega memang cukup kentara. Apalagi jika sedang berdiri tegap atau bersedekap. Leher jenjang serta tinggi semampai pun semakin menunjang penampilannya.

Beberapa menit ke depan, bacan ayat suci al-qur'an bersahutan khidmat mengisi ruang. Di tempatnya, Marwah mengamati sang suami yang khusuk mengaji. Jika tidak tenggelam, suara Rega yang merdu pasti akan mengundang decak kagum.

Marwah menunduk, melipat bibir ke dalam. Rasanya lucu. Dia dan Rega sudah mirip dua ABG yang hatinya sedang terkoneksi, tetapi benteng bernama gengsi menjulang terlalu tinggi. Membekukan gerak ketika berdekatan, dan membatasi hak memiliki. Hingga meminimalkan interaksi dijadikan opsi.

Acara selesai hampir dini hari. Marwah dilarang bu Laras membantu membereskan kekacauan sebab harus lekas mengantar bu Ambar pulang. Absennya pak Arya yang sedang ada urusan pribadi ke luar kota memaksa Marwah menuruti perintah ibunya.

"Mah, Mamah duduk di depan aja sana Mas Rega. Marwah biar di belakang."

Rega kontan menoleh. Alisnya menukik samar. Menatap Marwah tidak senang. Bagaimanapun pertengkaran di Singapura harus tetap dirahasiakan selagi belum ada bahasan kelanjutan.

Bukan Saktah Pertama (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang