part 36 b.

2.5K 156 13
                                    

Bacanya pelan-pelan dengan kepala terbuka.

•••

"Mas, masa Bapak-Bapak tadi kedip genit ke aku," adu Marwah begitu masuk kamar hotel.

Rega di belakangnya bertanya sambil menutup pintu. "Yang mana?"

"Yang ... Ah, enggak mau sebut. Intinya salah satu dari enam orang yang duduk di samping tempat kita."

"Oh, ini alasan kamu minta pulang?" Respon Rega, santai.

"Iya. Aku risi."

"Kok baru bilang?"

Duduk di pinggir dipan, Marwah menyahut, "Aku enggak mau kamu ribut."

"Memang siapa yang mau ngajak ribut?" Plastik soto diletakan ke nakas depan ranjang.

"Lha, terus ngapain?" Marwah menatap heran suaminya.

"Ngobrol."

"Hah?" Alis Marwah menyudut, tak mengerti.

Rega mengulum senyum. Kemudian menempatkan diri di samping sang istri. "Aku pengen nanya ke si Bapak, beliau sudah punya istri apa belum."

"Kalau belum?"

"Aku bantu cariin."

"Kalau udah?"

"Aku bilang, 'istri Bapak dan istri saya, bahkan semua perempuan di bumi ini, sama. Ibaratnya kaya kerupuk yang ada di depan Bapak. Wujudnya memang warna-warni. Tapi rasa, bahan, proses pembuatan dan namanya serupa, kerupuk. Jadi, apa yang Bapak cari di luar, sudah ada pada diri istri Bapak di rumah'."

"Eng ... Eh, bentar!" Marwah tiba-tiba tersadar sesuatu. Matanya menyipit, memandang Rega penuh curiga. "Perasaan respon kamu biasa aja, deh, Mas, denger istrinya digoda laki-laki. Enggak ada cemburu cemburunya sama sekali."

"Aku cemburu." Sangkal Rega, terkesan berbohong sebab tak ada tanda-tanda kesal yang ditunjukan.

"Mana ada cemburu bisa santai." Bibirnya mencebik.

"Terus harusnya gimana?"

"Ih, malah tanya ... Ah enggak tahu ah! Aku ikan." Marwah melengos sebal. Tangan dilipat di dada.

Rega terkekeh pelan. Dia tahu betul jika Marwah sedang ingin bertingkah selayaknya istri yang akan ditinggal merantau. Jadi, dia pun bangkit dan berjongkok di depannya.

"Neng, cemburu itu enggak harus diperlihatkan dengan tindakan barbar." Jelas Rega. "Lagipula, kamu sendiri yang bilang kalau kamu enggak mau aku ribut sama Bapak-Bapak tadi."

"Ya ... Tapi kan enggak gini juga." Protes Marwah, tak terima.

"Oke oke. Aku minta maaf." Rega mengalah.

Berdecak tak suka, Marwah mempertemukan pandang. "Jangan minta maaf kalau kamu enggak bener-bener salah. Nanti kata maaf kamu jadi enggak ada artinya."

Meski helaan napasnya dalam, bibir Rega masih setia melengkungkan senyuman. Tak sedikit pun kesal.

"Gini." Rega meraih kedua tangan Marwah. "Hidup adalah perjalanan. Masa lalunya menjadi pelajaran, dan masa depan adalah wujud dari apa yang kita lakukan sekarang."

Bukan Saktah Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang