part 32.

1.5K 136 11
                                    

Marwah menoleh ke arah Rega, mengernyit heran sebab uluran tangan klien yang ditunjukan padanya malah disambut oleh laki-laki itu. Padahal baru beberapa detik lalu mereka bersalaman setelah meeting selesai.

"Terima kasih," ucap Rega, tersenyum tanpa dosa.

Si klien melirik tangan Marwah yang masih menggantung. Kemudian mengangguk bersama senyum canggung. Dia pun berpamitan dan keluar restoran.

Sementara, Rega kembali menghempaskan punggung ke sofa. Lantas menyedot gelas jus sampai tandas.

"Mau ngadem dulu di sini?" tanya Marwah, duduk di sampingnya.

Rega tak menyahut. Tatapannya lurus ke depan. Ekspresi seperti sedang menahan kesal.

"Saya masih ada kerjaan, Pak." Marwah menjelaskan, berharap Rega lekas menuntaskan apa pun yang ingin dilakukan.

Dia masih diam.

"Kemarin Pak Kuncoro ngirim e-mail, minta rincian pengeluaran dikirim minggu ini."

"E-mail kantor atau e-mail pribadi kamu?"

"Kantor," sahut Marwah. "Ya kali e-mail saya, Pak."

Rega bangkit. Tanpa permisi, dia melipir pergi.

"Eh, Pak ... Ck!" Marwah buru-buru menyusul sang suami. Sampai di mobil, dia langsung menempatkan diri di kursi samping kemudi. "Kok saya ditinggal?" protesnya, tak terima. Pintu mobil ditutup kasar.

"Pakai sabuk pengaman," respon Rega, alih-alih.

•••

"Ferdian!"

Di dalam mobil, Rega cepat menoleh ke jendela. Matanya meruncing mendapati sang istri yang tadi turun lebih dulu sedang melambaikan tangan pada sekretaris pak Hilman. Rega gegas melepas sabuk pengaman. Keluar mobil dan melangkah lebar menghampiri Marwah. Bertepatan dengan tibanya Ferdian di hadapan keduanya.

"Hai, Mar," sapa Ferdian, tersenyum.

"Kok enggak WA mau ke sini?"

Sekonyong-konyong, Rega menoleh pada Marwah. Alis laki-laki itu menyudut. Namun, Marwah tak acuh.

Ferdian menggaruk belakang telinga. Kenapa kalimat Marwah terkesan seolah mereka biasa berkirim pesan? Padahal semenjak saling bertukar nomor, mereka hanya berkabar beberapa kali. Lebih tepatnya sebab Marwah yang suka lama dalam membalas, bahkan kadang tidak dibaca sampai berhari-hari. Lama-lama Ferdian jadi sadar diri, berpikir kalau Marwah tak mau terlalu akrab. Pun, perempuan itu pernah memberitahu bahwa dia sudah bersuami.

Entah laki-laki seperti apa yang beruntung mendapatkan Marwah, Ferdian sungguh iri. Selain cantik dan cerdas, Marwah juga orang yang menyenangkan. Bagaimana dia menunjukan gesture tubuh, raut wajah antusias serta responsif terhadap lawan bicara membuat siapa pun gampang merasa nyaman bercerita.

"Enggak enak. Ini kan masalah kerjaan. Masa digabung sama urusan pribadi ...."

Rega berdeham keras, meminta perhatian. Satu tangannya melonggarkan dasi navi yang melambai di depan badan. Lengan kemeja hitamnya digulung sampai siku, memperlihatkan jam tangan yang melingkar di pergelangan kanan.

"Eh, pak Rega." Ferdian tersenyum tidak enak. "Siang, Pak."

"Siang," balas Rega, datar. "Pesan saya enggak masuk?"

"Masuk, Pak."

"Isinya kurang jelas?"

"Jelas. Sangat jelas."

"Terus kenapa masih diantar langsung?" Nada suara Rega tidak ramah.

Ferdian kontan menelan ludah susah payah. Apa karena dirinya nekad datang menyerahkan berkas, laki-laki itu jadi marah? Tetapi kenapa? Bukannya tidak ada yang salah? Lagipula, pesan Rega berupa pemberitahuan jika dia sedang ada di luar, masuk saat Ferdian sudah di tengah jalan.

Bukan Saktah Pertama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang