2

2.9K 116 10
                                    

Seperti yang dikatakan Alatas, seperti yang diyakinkan Alatas, semuanya memang benar. Perasaanku padanya memang nyata. Dan perasaan kami sama. Bahwa cinta kami memang benar-benar mirip. Aku memandangnya sebagai pria. Dan dia menatapku sebagai wanita. Bukan sepupu. Omong kosong dengan sepupu itu.

Hanya saja aku dan Alatas tidak mungkin bersama. Apa yang akan kukatakan pada mama dan papa. Bisakah aku menghadapi tante dan omku sendiri? Tidak, aku tidak bisa.

Mama menepuk pundakku. "Ini pertama kalinya mama lihat Al begitu marah padamu. Ada apa sebenarnya, Del?"

Aku menatap mama. Merasa begitu bersalah padanya. "Al hanya lagi tidak karuan saja, Ma. Kami berbeda pendapat dan dia marah besar karena aku tidak mengikuti sarannya. Bukan masalah serius."

"Kau yakin?"

"Yakin, Ma. Jangan dipikirkan, Ma. Besok Alatas juga akan biasa saja. Mama tahu dia seperti apa."

"Baiklah, kalau memang tidak serius. Mama hanya mau kau bersikap dewasa, Del. Al sudah banyak mengalah sama kamu. Dia banyak menerima keburukanmu yang mama sendiri kadang sulit untuk tidak marah padamu. Tapi dia bersabar untukmu. Dan sebentar lagi kau akan menikah, jadi cobalah untuk menerima kesalahanmu juga. Jangan hanya terus mau menang, Apalagi dari Al yang sangat menyayangimu."

Aku menepuk tangan mama.

Maaf, Ma. Aku tidak boleh kalah sekarang. Jika aku kalah maka itu artinya aku mengakui perasaanku. Aku tidak mau Alatas sampai menang dari perasaan kami. Aku tidak mau mengecewakan kalian. Jadi, Ma, kali ini saja. Biarkan aku menang. Biarkan aku egois karena itu yang terbaik bagi kami.

"Mama mau ke kamarku dulu kalau begitu. Kamu tenang-tenang, ya?"

"Ya, Ma. Mimpi indah."

Mama pergi dan aku berbaring kemudian. Menatap langit-langit kamar dengan perasaan berkecamuk. Apa yang harusnya aku kerjakan malah aku abaikan akhirnya.

Aku coba untuk tidur.

Satu jam

Dua jam

Tiga jam

Aku menyerah. Aku tidak bisa tidur sebelum aku menyelesaikan masalahku dengan Alatas. Aku harus meyakinkan dia kalau aku tidak memiliki perasaan apa pun padanya.

Coba kuraih ponsel yang ada di nakas. Aku duduk dan menghubungi Alatas. Panggilan pertama teleponku diabaikan.

Aku kesal. Ini pertama kalinya dia mengabaikan panggilanku. Tapi setelah memikirkannya, tentu saja dia akan mengabaikan aku. Aku menyakitinya, jadi kalau dia tidak marah maka dia malaikat.

Lalu aku coba panggilan kedua. Tapat di dering keenam, dia menjawab. Aku mendesah dengan lega.

"Alatas!" seruku dengan senang. "Kau akhirnya menjawab, aku—"

"Halo?"

Suara perempuan. Jantungku berdegup. Aku berusaha berpikir positif. Alatas tidak mungkin malam-malam bersama perempuan lain. Aku menolaknya dan dia melampiaskannya dengan perempuan lain. Alatas tidak seperti itu. Dan jika dia memang seperti itu, maka dia bajingan yang tidak pantas untuk kuberikan cinta.

"Siapa ini?" tanyaku dingin.

"Saya pelayan di bar yang didatangi tuan pemilik ponsel. Apa nona kekasihnya."

"Aku sepupunnya. Alatas di bar?"

"Oh, sepupu rupanya. Dia menulis nama anda dengan aneh. Maaf, saya tidak seharusnya meracau. Pemilik ponsel ini mabuk berat. Bisakah anda datang menjemputnya. Kami akan segera tutup."

Aku menatap jam dan memang sudah pukul dua dini hari. Aku pikir berbaring hanya tiga jam sambil memikirkan Alatas. Rupanya sudah dini hari. Pria itu menguasai seluruh aspek dalam kehidupanku. Bahkan waktuku.

"Bisa kau menjaga dia sebentar untukku? Aku akan segera datang."

"Baik. Saya akan menunggu."

Aku mematikan sambungan. Kuganti pakaianku kemudian dengan celana panjang dan kaos besar. Aku keluar dari kamar setelah memakai sepatu dan rambut gelombangku yang kukuncir berantakan.

Perasaanku kacau dicampur dengan marah. Bisa-bisanya Alatas ada di bar saat dia sendiri tahu betapa ayahnya tidak suka dia melakukan hal itu. Ayahnya selalu beranggapan kalau orang yang masuk bar, adalah orang nakal. Itu makanya dari kami semua tidak pernah ada yang menginjak bar, dan Alatas melakukan kesalahan besar. Semuanya karena aku.


Hamil Anak Sepupu जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें