🎼 Prolog 🎼

964 76 4
                                    


Seokjin merasakan nada-nada sumbang dalam keheningan pikirannya yang sedang kacau, ia menekan tuts piano dengan jari-jari yang lemas dan tampak ragu, ia tak bisa memikirkan satu lagu apapun dan ia berkali-kali melakukan kesalahan dalam merangkai nada yang ada di dalam pikirannya dan terkejut saat  membayangkan nada-nada yang mengacau dan menganggu konsentrasinya yang sangat rentan.

Ia mendadak membeku dan tak bisa menyampaikan hal-hal yang indah dan puitis di dalam hatinya yang berdenyut sakit, jemarinya gemetaran setelah beberapa menit tenggelam dalam kegagalan dan pikiran frustasi ketika akan memainkan sebuah lagu.

Saat kata-katanya terputus ia membutuhkan musik untuk mengungkapkan isi hatinya, ia tak sanggup lagi memendam rasa sakit di dalam dadanya dan bayangan Hyunjung muncul di dalam pikirannya yang mulai semakin kusut.

Dia akhirnya bisa membebaskan dirinya dari kebekuan hatinya yang tersiksa oleh kenangan pahit di masa lalu, jemarinya bergerak menekan tuts piano. Ia mengerang, menderita dan mencurahkan keputusasaan pada alat musik, pianonya.

Grand Piano miliknya hanyalah sebuah piano usang warisan ayahnya tapi instrumen itu masih bisa berfungsi dengan baik agar bisa menghibur hatinya yang sedang kacau,  piano itu hanyalah sebuah benda yang  terbuat dari begitu banyak kayu dan kabel dan berbagai bagian dengan ukuran kecil dan besar, dan tuts yang terbuat dari gading. 

Alat musik besar itu seperti monster yang mendekap tubuhnya dengan mesra, menyelubunginya dengan nada-nada duka dan melankolis.

Saat ia menekan tuts pada waktu yang tepat dan instrumen musik itu seolah memainkan dirinya sendiri. Sang pianist mentrasformasikan kegundahan hatinya pada piano yang ada di hadapannya.

Lagu sedih  baru saja mengalun di udara, menimbulkan getaran yang menyentuh jiwa yang dilanda patah hati yang tersamarkan. Mata Seokjin berkaca-kaca, tapi matanya kering di saat bersamaan, air matanya terjebak di dalam kesedihan yang mendalam, sulit untuk disembunyikan.

Jungkook menyandarkan pundaknya di kusen pintu kamar  apartment Seokjin, ia  berdiri dengan tatapan suram dan hati yang diselimuti oleh kekecewaan aneh dengan banyak alasan penting.

Ia menunggui Seokjin sampai pria itu berhenti memainkan pianonya dan lagu sedihnya terputus di tengah jalan.

Pianonya tidak memainkan nada-nada yang salah, tapi kesalahan yang sebenarnya terletak  di dalam lubuk hatinya yang paling dalam.  Lagu dalam piano itu baru saja menyampaikan sentimen di dalam hati sang pianist yang sedang mengalami dilema.

"Aku lelah Jin,"

Jungkook menyekah air matanya dan berjalan  menghampiri Seokjin yang masih menundukkan wajah, pura-pura tertarik pada kertas partitur musik dan mengabaikan paras kekasihnya yang cantik.

"Aku juga"

Seokjin menjawab dengan singkat, menghela napas beratnya dan akhirnya ia sanggup memberanikan diri mengangkat wajahnya dan menatap langsung ke dalam mata Jungkook yang mulai berkabut dengan hebat.

"Aku ingin kita putus"

Seokjin merasakan adanya ganjalan di dalam hatinya yang kacau, kata-kata jahat itu meluncur begitu saja dari bibirnya yang terbuka dengan pelan, ia memainkan pianonya kembali setelah menyatakan diri ingin memutuskan Jungkook secara sepihak.

"Kenapa?"

Suara Jungkook bergetar dengan pelan, ia masih diam terpaku di depan piano, menatap lurus pada sang pianist yang telah mengabaikannya.

"Apakah kamu benar-benar mencintaiku?"

Seokjin bertanya dengan tatapan mata yang tajam, alih-alih menjawab pertanyaan singkat Jungkook yang menuntut penjelasan penting,- kenapa?



💜💬⭐







Golden HourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang