17; The truth

77 13 5
                                    

"Aku masih berharap, kalau saat itu aku mengenalmu dengan cara yang benar"

■■■

Flashback pertemuan awal.

"Kayaknya damage kegantengan lo menurun, Keen."

Keenan merasa tidak terima dengan ucapam Gema. Keenan berdiri dari duduknya.

"Enggak! Gue bakal buat dia jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama gue." tekad Keenan.

Wintara tertawa meremehkan, "Dih kakanda Keenan Pradipta, sadar dirilah kalau dalam sejarah hidup anda, tidak pernah sekalipun anda mendekati para gadis. sekarang mau mendekati dengan cara apa, hah?" Wintara tersenyum meledek, tidak bisa Keenan sangkal, kalau ucapan Wintara benar sekali, dia tidak pernah sekalipun mendekati gadis, selalunya dia yang di dekati.

Keenan mendengus sedikit kesal. Sementara temannya yang lain hanya terkekeh.

"Liat aja, Gue bakal bisa bikin dia klepek-klepek." Yakin Keenan seratus persen.

"Wohooo, Mr. Confident." Sindir Jevan mengangkat alisnya.

"Oke, gini deh, kalo gue gagal bikin dia jatuh cinta, trip ke Jepang pas kelulusan gue tanggung seratus persen." Usul Keenan.

"Woooooooo!" Sorak keempat temannya.

"But, kalo gue berhasil dalam tiga bulan bikin dia jatuh cinta, You guys pay me full funded on Japan trip." Sambung Keenan.

Gema mengangguk, "Taruhan ceritanya?" Gema menaikkan satu alisnya. "Okay, siapa takut?"

"Okay, siapa yang mau di team gue?" Ucap Keenan angkat tangan.

Wintara dan Baskara saling melirik sambil ketawa kecil.

"Gue Gema!"
"Gue Gema!"

Ucap Baskara dan Wintara serentak. Keenan berdecak, lalu melirik Jevan yang belum memilih.

"A a a, Oke gue team Keenan. Lagian gue yakin dia bisa deketin cewek." Ucap Jevan sembari merangkul Keenan dan mendukung temannya itu.

Keenan tersenyum puas, meski hanya berdua, ia tahu kemampuan Jevan mampu membuatnya menang.

"Deal?" Keenan mengulurkan tangannya, Gema tersenyum miring, lalu menyambut jabat tangan dari Keenan.

"Deal!"

Hari itu, terjadi sebuah kesepakatan diantara lima cowok primadona sekolah itu.

Flashback off.

Kembali pada Natt's bar, Keenan masih tidak mengerti dengan maksud Gema itu, Mengapa dia tiba-tiba menyuruh Keenan menyerah.

"Maksud lo apa sih Gem?" Tanya Keenan heran.

"Gue gak mau lo berhubungan sama Kanaya." Jawab Gema. Keenan mendengus, lalu menatap heran Gema.

"Kenapa? Lo suka sama dia?"

Gema diam, masalahnya bukan itu alasannya. Keenan berdecak, "Lo tenang aja Gem. Perasaan gue tetep sama, lo bisa deketin dia kalo urusan gue udah selesai."  Ujar Keenan lalu ia meneguk wiskinya.

Gema sudah tidak tahu lagi bagaimana menghalau Keenan, hatinya masih berat untuk mengatakan yamg sebenarnya.

"Keen, bukan itu masalahnya." Gema menatap Keenan.

Keenan menyadari gelagat aneh Pria itu, Gema terlihat kerap kali meneguk salivanya seakan menahan katanya. Ia nampak ragu sekarang.

"Apa sih Gem yang sebenernya pengen lo omongin?" Tekan Keenan.

Gema menghela napas kasar, cukup dalam ia menatap Keenan, tentang apa yang baru ia temukan, tentang apa yang ia rasakan, Semua nampak terlalu sulit diutarakan.

"Keen, Kanaya adik tiri gue."

.
.

Disisilain,

Kanaya sedang membuat sketsa di bukunya, objeknya adalah Leon yang sedang bermain gitar. Sejujurnya, Leon sangat ingin bertanya apa yang terjadi di Bandung waktu itu.

Leon mendapat kabar dari Risa kalau akhirnya Kanaya pulang, Leon cukup senang mendengarnya, hanya saja, tidak lama setelah itu, Risa menelpon Leon kalau Kanaya marah dan pulang Ke Jakarta.

Sekarang, Kanaya dihadapannya, tapi ia tidak berani untuk sekedar bertanya keadaan di Bandung. Moodnya terlihat sedikit membaik hari ini.

"Gambar gue yang ganteng." Ujar Leon membuka onrolan.

"Gue gambar sesuai realita." Sangkal Kanaya.

"Jadi gue jelek?"

"Gue gak bilang ya."

Leon tersenyum masam, lalu sedikit menggeleng. Kembali tercipta hening, Kanaya masih sibuk menoreh pensilnya sambil sesekali melirik Leon.

"Kak, kalo lo pulang ke Bandung, perasaan lo gimana?" Tanya Kanaya tiba-tiba. Leon sedikit tersentak, tapi ini pertanda bagus, Kalau Kanaya yang memulai, berarti ia bisa bertanya perihal kejadian di Bandung.

"Perasaan gue..." Leon bergumam, "Lega, nyaman, aman, dan pasti istirahat gue lebih enak aja." Jelas Leon.

Kanaya mendengus sembari tersenyum miring, "Kalo saat pulang gak merasa yang kayak lo bilang. Artinya belom pulang dong?"

Ucapan Kanaya sukses membungkam Leon, Tanpa ia pertanyakan, Leon yang peka sudah tahu kalau kejadian di Bandung terjadi karena Kanaya tidak merasa telah sampai rumah, segala hal yang ada disana justru membangkitkan traumanya, apalagi ia dengar kalau Ben datang. Itu sudah pasti, akan membuka luka lamanya.

"Udah..." Kanaya menutup Sketchbook-nya. "Yang tadi jangan dipikirin." Ujar Kanaya. Meski gadis itu berkata demikian sebenarnya, dialah yang paling banyak berpikir tentang itu. Kanaya beranjak, ingin kembali ke Apartemennya.

"Nay.."

Kanaya yang berada diambang pintu menoleh pada Leon.

"Diri lo sendiri, tempat lo pulang ada dalam diri lo sendiri." Ujar Leon.

Kanaya diam menatap Leon penuh arti. Lalu, Tersenyum tipis, "Hmm, semoga." Dan Kanaya pergi.

Tujuannya bukanlah apartemen, tapi ia memilih menikmati malam diatas jembatan penyebrangan itu lagi. Rasanya sudah lama tidak disana.

Tidak lupa ia membeli sekaleng soda dan rokok untuk menemaninya diatas sana, menikmati titik-titik cahaya berlalu-lalang dan klakson yang kadang nyaring berbunyi. Hatinya masih galau perihal makna pulang, entah sampai kapan ia akan merasa lelah berkelana, entah sampai kapan akhinya ia merasa lega akan sebuah rumah, atau semuanya akan tetap sama sampai akhir... Ia tidak pernah tau.

Asap itu mengepul, hingga kadang memburam pandangannya, pikiran Kanaya ngalur ngidul entah kemana, dan kali ia tepikir tentang Carla.

Ia pernah bertemu Carla, ia tahu kalau keluarga Carla ada diJakarta. Kanaya tahu Carla memiliki anak yang semumuran dengannya, tapi Kanaya tidak pernah bertemu dengannya, bahkan mungkin Carla sengaja tidak ingin menunjukkan perihal dia pada anak itu.

Atau paling buruknya, anak itu tidak pernah tahu yang sebenarnya.

Dalam benak Kanaya, jika ia bertemu dengan anak itu, ia akan meminta maaf karena ia juga harus hidup dalam sandiwara ini juga. Tapi, apa ia punya keberanian untuk bertemu dengannya?

Kanaya meremat kaleng kosong itu dan membuangnya sembarang, lalu puntung rokok ketiganya ia matikan. Semua terlalu menyakitkan bahkan hanya sekedar dibayangkan.

●●●

SORRY || Brighttu [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang