2. Playing Victim

139 36 3
                                    

"Apa pun dosa manusia, yang disalahkan tetap setan."

- Ghost -

Hari ini rumah Asep sepi, semua penghuninya sedang pergi. Mereka mungkin healing mengingat perginya nggak cuma keluarga Asep saja, tapi juga mengajak ayah dan ibu Asep. Kalau nggak salah namanya pak Slamet dan Ibu Rohana.

Rumah pak Slamet di belakang rumah Asep, jaraknya dua rumah doang. Hantu di sana kadang mampir ke rumah ini kalau sedang senggang. Nongkrongnya nggak sambil ngopi mengingat kami nggak nanggung cicilan apa pun. Chuaks.

Di kesempatan kali ini pun, para penghuni rumah sebelah dan rumah pak Slamet, datang berkumpul. Kami berkumpul di ruang tamu, bosan di balkon melulu. Cari suasana baru agar ghibahnya lebih mantap.

"Udah dengar, belum?"

Poci, hantu yang sering kali update berita berbaru mengenai manusia, memulai pembicaraan mengundang rasa penasaran hantu lainnya, termasuk gue.

"Denger apaan? Ngasih info itu yang lengkap, jangan pake basa-basi," protes kunti tertua di rumah ini. Gue biasa manggil dia kunti one.

Karena kuntinya ada tiga, lebih enak manggil dengan kunti one, kunti two dan kunti three sesuai urutan. Tentu saja penentuannya bukan dari usia, tapi siapa yang pertama kali menghuni di rumah ini.

"Sabar, dong. Semua butuh yang namanya pendahuluan. Kalau langsung pembahasan namanya menyalahi aturan kepenulisan." Poci beralasan.

"Alah, sok jadi manusia lo! Lagian lo bukan nulis, tapi ngomong," tegas kunti one menolak alasan dari Poci.

"Nggak asyik, lo!" Poci mencebikkan bibirnya yang hitam.

"Najis banget, lo! Jangan sok imut, deh."

"Hei, gue ke sini mau ghibah, bukan nontonin kalian ngereog!" Silong, Sinderbolong dari rumah kosong deket Musholla yang datang bergabung karena nggak ada kerjaan, langsung melerai perkelahian nggak penting antara Poci dan kunti one.

Kunti dan Silong berbeda. Meski sama-sama berpakaian putih, seenggaknya, punggung Kunti nggak berlubang.

"Jadi, apa gosipnya?"

Gue langsung natap Poci dengan serius, malas buat denger perkelahian dia dengan hantu lainnya lebih lama lagi.

Poci menelan ludah.

Banyak yang bilang kalau mata merah gue yang besar ini akan terlihat seram sekalipun gue nggak melotot, melihat Poci yang gemeter sampai masukin kembali tangannya ke dalam, gue rasa omongan itu benar.

"Kita harus bersatu untuk ngajuin protes," ujar Poci dengan wajah serius. Wajah takutnya udah hilang karena udah nggak gue pelototi lagi.

"Protes dalam rangka apa? Hari guru? Hari Ibu? Hari apaan?" Susot bertanya heran.

"Heh hantu punya kaki, tapi nggak berfungsi, lo sadar diri napa? Lo setan, bukan manusia, ngapain ngerayain begituan? Lo punya Ibu? Punya guru?" sambar Kukuy sebel.

"Kagak, sih. Cuma gue nggak keberatan buat dianggap guru ibu kalau dikasih sesajen," cengir Susot.

."Anjir, murah banget, lho. Disogok sasajen aja sampe lupa diri," sindir Kunti three.

"Buat apa harga diri? Harga diri kita sudah diabaikan sejak dulu." Poci menyahut BT.

"Apa maksud lo?" tanya gue penasaran.

"Gen, kita harus protes sama Gugun agar bisa diizinkan buat negur manusia resek yang selalu menjadikan kita kambing hitam!" Poci menjawab dengan semangat berkobar.

HANTU JULIDOnde as histórias ganham vida. Descobre agora