4. Nimbrung

100 29 2
                                    

"Mau imajinasi atau nyata, rasa takut adalah bukti bahwa sejatinya semua di semesta ini hanyalah makhluk ciptaan Tuhan."

- Ghost -

Di depan rumah Asep yang biasanya sepi, kini cukup ramai. Jalan kecil dan sempit, hanya cukup untuk satu mobil itu penuh dengan orang. Akses jalan ditutup, diarahkan ke jalan alternatif.

Jenazah kakek Tanum telah dikuburkan sekitar jam sepuluh pagi tadi. Sekarang, orang-orang pada sibuk mengurus tahlil.

Asep, lelaki berusia hampir empat puluh tahun, kelahiran 86 itu, baru kelar mandi. Untuk menghargai tetangganya, lelaki yang hampir nggak pernah sholat, kecuali sholat jenazah, malam ini memakai kembali baju taqwa dan sarung yang biasa hanya disimpan di lemari.

Dilengkapi kopiah hitam, Asep mengantongi dua bungkus rokok. Dia mungkin akan begadang hari ini. Biasanya tahlil di sini ada tradisi begadang sampai subuh.

Nggak, mereka bukan begadang membaca al-qurán, hanya mengobrol sambil merokok, makan makanan ringan dan minum air atau kopi saja.

"Yang, aku tahlil dulu ya." Asep berpamitan pada istrinya Siti.

Siti yang sedang membuat mie instan di dapur melongok sebentar ke arah suaminya.

"Iki nggak diajak, Yah?"

"Iki sudah berangkat duluan."

"Kelar tahlil Iki langsung disuruh pulang, Yah." Siti berpesan. "Ayah saja yang begadang di depan."

"Iya," sahut Asep singkat lalu pergi.

Acara tahlilnya selepas isya dan hanya berlangsung satu jam saja. Setelahnya beberapa orang yang berniat bergadang masih tinggal di sana, duduk bersila di atas tikar, berkumpul sambil ngobrol.

Asep dan ayahnya, Slamet adalah dua orang di antara banyaknya orang yang berkumpul untuk begadang sampai subuh di sana.

Gue dan kawan-kawan juga ikutan. Ya, kali ngelewatin obrolan mereka yang selalu menarik untuk disimak, mulai dari obrolan basa-basi kegiatan sehari-hari, pekerjaan mereka sampai masalah politik serta penciptaan alam semesta, obrolan manusia, khususnya kaum lelaki, selalu lucu untuk didengarkan.

"Iki, langsung pulang," teriak Asep ketika melihat anaknya masih berniat untuk nongkrong dengan para anak tetangganya, berniat mau main gitar di rumah sebelah.

Iki terlihat kecewa.

"Ibuk takut sendirian di rumah," ujar Asep setelah melihat Iki mendekat dengan memasang muka cemberut.

"Takut apa, sih? Kan, ada Queenza juga," sahut Iki pelan.

"Kan, ada yang meninggal dunia. Ibukmu takut kalau arwahnya masih ada di sekitar sini," jelas Asep.

Iki menghela napas panjang.

"Lagipula, katanya kalau ada orang mati, setan pada kumpul karena dapat teman baru," imbuh Asep ngebuat gue nautin alis.

"Jadi, Ayah mau begadang di sini, sementara Iki di rumah nemenin Ibuk?"

Asep menganggukkan kepala.

"Iya, Anak baik, jangan ngebantah ya. Nanti para setannya pada ke sini kalau kamu nggak nurut." Asep menakuti.

Ya, nggak beda jauh sama ibunya, Iki juga penakut.

Anak remaja yang sudah SMA itu, hanya bergidik lalu pulang ke rumahnya dengan cepat membuat Asep tersenyum lebar.

"Dia bilang apa, sih? Mau ada orang mati atau nggak, kita, kan, selalu kumpul," celetuk Poci yang sejak tadi diam saja saat duduk di sebelah gue.

"Dia, kan, nggak bisa lihat kita, Ci," jawab gue santai.

HANTU JULIDDär berättelser lever. Upptäck nu