Remorse - 16

1.4K 235 64
                                    

.


.


.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



****




Panas dan silau dari sinar matahari yang menyusup ke celah gorden berhasil mengusik tidur Naruto yang nyenyak. Pria pirang itu kemudian mengerjap pelan, kemudian mengernyit sembari berusaha menyesuaikan pandangan matanya dengan pencahayaan ruangan.

Beberapa saat dilalui Naruto dalam diam, kemudian menoleh dan mendapati ranjang di sebelahnya kosong, seperti biasa.

Apa aku bermimpi? pikir pria itu bingung, mengingat sekilas saat di mana Hinata mengurusnya semalam, juga ... ikut berbaring di sebelahnya dengan Kawaki yang berada di antara mereka. Apa demamku setinggi itu sampai kepada tingkat berhalusinasi?

Menegapkan tubuh, Naruto lalu mengedarkan pandangannya dan mendapati bahwa ia benar-benar sendirian di kamar tersebut. Seakan belum juga puas memastikan, pria itu beranjak turun dari ranjang dan keluar dari kamar dengan hanya mengenakan piyama tidurnya. Kakinya melangkah ke dapur dan ruang makan, mencari tetapi tidak menemukan siapa pun di sana.

Naruto menghela napas sejenak, mengusap wajahnya gusar berkali-kali dan memutar tubuh-hendak kembali ke kamar sebelum derap langkah kaki itu ditangkap oleh indra pendengarannya.

Sontak, Naruto pun menoleh ke sumber suara, dan harus mendesah kecewa ketika sosok wanita yang sedang berjalan ke arahnya saat ini bukanlah sosok yang diharapkannya.

"Selamat pagi, Pak."

Naruto mengangguk sekadar kepada Hana. "Kawaki sudah berangkat ke sekolah?" tanyanya pada wanita itu.

"Sudah, Pak," sahut Hana memandangi Naruto lamat-lamat. "Pak?"

"Ya? Ada apa?" tanya Naruto cepat karena ingin kembali ke tempat tidur sesegera mungkin.

"Saya ingin menyampaikan sesuatu," kata Hana dengan keseriusan yang tak luput dari perhatian Naruto. "Saya ... ingin berhenti bekerja."

"Ya?" gumam Naruto kaget. Matanya yang sempat menatap malas, kini membulat sempurna oleh ucapan wanita itu. "Kau ingin ... apa?"

"Berhenti bekerja," ulang Hana lebih jelas. "Pak Naruto boleh mencari pengasuh lain untuk Kawaki."

"Kenapa tiba-tiba?" Naruto bertanya tenang setelah mencerna baik-baik perkataan wanita itu.

Memang benar bahwa dia berencana menggantikan posisi Hana dengan pengasuh yang baru untuk Kawaki, tetapi ia tidak pernah menduga bahwa wanita itu akan mengundurkan diri sendiri tanpa diminta. Hal tersebut jelas mengejutkan, apalagi mengingat pendekatan tipis-tipis yang dilakukan oleh Hana padanya selama ini dalam berbagai cara, termasuk menunjukkan kepedulian dan rasa sayang yang sangat jauh untuk putranya.

Dan sekarang ...

"Saya merasa kurang nyaman," jawab Hana jujur.

Naruto mengerutkan keningnya. "Karena Kawaki?"

"Karena ... Hinata," ucap Hana lagi. "Pak Naruto tahu perasaan saya, dan melihat wanita yang Pak Naruto cintai sudah kembali, saya merasa harus ... pergi, demi diri saya sendiri, kecuali ...."

"Kecuali?"

"Kecuali Pak Naruto memang lebih memilih saya," sambung Hana tersenyum lirih. "Pak, selama lima tahun ini, apa Pak Naruto tidak pernah memiliki sedikit pun perasaan untuk saya?" tanya Hana sambil melangkah mendekat.

Sedangkan Naruto masih berdiam diri di tempat, memandang Hana dengan tatapan datar sebelum mengembuskan napas kasar. "Hana, kita sudah pernah mencobanya, bukan?" tanya Naruto mengingatkan. "Dan kita berdua sudah tahu bahwa saya tidak bisa melanjutkannya. Saya tidak bisa melihatmu lebih dari seorang wanita yang saya percaya bisa merawat Kawaki."

"Pak Naruto belum mencobanya lebih jauh lagi." Hana memberanikan diri untuk mengulurkan tangan dan menangkup sebelah pipi bergurat pria itu.

Sayangnya, Naruto segera bergerak menjauh, mengambil langkah mundur seraya menggeleng kecil. "Saya tidak bisa, Hana," ucap Naruto pelan, tetapi tidak menghilangkan ketegasan dari dalam suaranya. "Dari dulu sampai sekarang, hati saya hanya tertaut pada satu orang, dan kau tahu siapa orang itu."

"Saya tahu," kata Hana menunduk, membiarkan setetes air matanya jatuh begitu saja.

"Maafkan saya," ucap Naruto kemudian. "Saya akan tetap menghormati keputusanmu untuk berhenti bekerja, dan saya benar-benar berterima kasih atas pengabdianmu selama lima tahun ini. Pada saya, dan terutama pada anak saya."

Hana mengangguk tanpa menyahut. Wanita itu lebih memilih berbalik pergi dalam diam, masuk ke dalam kamar yang selama ini ditempatinya dan meninggalkan Naruto seorang diri.

Pria itu lantas memejamkan kedua matanya sejenak. Lelah dan juga ... bingung. Belum juga sepenuhnya pulih, ia malah disodorkan kenyataan yang terlalu tiba-tiba ini, menambah pening di kepalanya karena memikirkan bahwa ia harus bergerak cepat mencari pengganti Hana.

Benar-benar pagi yang buruk.

Naruto lalu berjalan lunglai menuju pintu kamarnya sendiri dan masuk ke dalam. Ranjang adalah tujuan utamanya saat ini untuk mengistirahatkan fisiknya yang memang masih kurang bertenaga.

Namun, alangkah terkejutnya pria itu ketika menyadari bahwa dirinya tidak sedang sendirian di dalam sana.

Hinata-wanita yang membuat Naruto panik pasca terbangun tadi-sedang duduk tenang di tepi ranjang, masih dengan pakaian yang sama dengan semalam.

"Hinata?" gumam Naruto bingung, kemudian cepat-cepat menghampiri wanita itu seolah jika ia telat sedikit saja, Hinata akan lenyap dari pandangannya. "Kau ... di sini?" ucap Naruto lagi sembari menarik Hinata berdiri dan memegang kedua pundak mungil itu.

"Aku punya pertanyaan." Hinata mendongak, menatap lurus Naruto dengan kedua matanya yang sedikit berkaca. "Silakan melangkah mundur jika jawabannya tidak, dan cium aku jika jawabannya iya."

Untuk sesaat, Naruto mengerjap kaget sekaligus heran, meski kedua sudut bibirnya mulai berkedut geli. Ia lalu membiarkan wanita itu melanjutkan perkataannya yang jelas belum selesai.

"Pertama, apa kau bersedia memaafkan semua kesalahan yang kulakukan lima tahun lalu?" tanya Hinata serius dengan suaranya yang serak. "Kedua, apa kau benar-benar masih ... mencintaiku?" tambah wanita itu lagi. "Dan yang terakhir, apa kau masih menginginkanku sebagai ibu dari ... anak-anakmu?"

.



.



.

Tbc

Remorse ✔️Where stories live. Discover now