Remorse - Extra Chapter 2

1.4K 194 18
                                    

.



.



.


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



****

"Maaf jika Kawaki membuatmu sedih." Naruto berucap setelah mobil yang dikemudikannya sudah tiba kembali di halaman rumah. Dipandanginya Hinata yang hanya diam di sepanjang perjalanan pulang seraya menarik napas dalam-dalam dan menautkan jemari mereka. "Dia perlu waktu, tapi yang tadi itu ... merupakan kemajuan yang cukup baik."

Hinata menanggapi dengan anggukan. "Iya, tapi entah kenapa, aku merasa egois karena telah mendepak salah satu sosok penting di dalam hidupnya," jelas Hinata tersenyum sedih.

"Kau tidak mendepak Hana, Hinata."

"Aku melakukannya," aku Hinata balas menatap Naruto. "Kami sempat mengobrol, dan saling menyakiti satu sama lain melalui perkataan yang kami ucapkan."

"Benarkah?" Naruto mengerutkan keningnya, tampak sedikit kaget.

"Aku menegaskan posisinya," kata Hinata, menunduk dan tertawa kecil. "Dan setelah kupikir-pikir lagi, sepertinya aku sudah ... keterlaluan, sampai-sampai ia memutuskan untuk mengundurkan diri kemarin."

"Hinata, aku ingin jujur," ucap Naruto tiba-tiba, memperbaiki posisi duduknya agar dapat menghadap Hinata sepenuhnya. "Aku dan Hana ... pernah mencobanya."

"Having sex?"

"Tidak," bantah Naruto segera. "Tidak sejauh itu."

"Lalu apa?"

"Maksudku, kami sempat hendak berciuman," Naruto berujar pelan sambil meringis salah tingkah. "Tapi semakin jauh, aku semakin menyadari bahwa apa yang kami lakukan saat itu adalah sebuah kesalahan."

"Kenapa menyebutnya kesalahan?" tanya Hinata tersenyum getir. "Jika kalian adalah dua orang dewasa lajang yang ingin bersenang-senang, maka hal tersebut adalah hal yang wajar dan tidak sepantasnya disebut sebagai kesalahan." Meski bibirnya mampu berucap sebijak itu, pada kenyataannya, Hinata bisa merasakan dadanya yang diserang sesak. Menyakitkan rasanya membayangkan pria itu berusaha melupakannya di masa lalu.

"Aku menganggapnya kesalahan karena yang memenuhi pikiranku saat itu adalah dirimu, Hinata," balas Naruto menggeleng geli. "Dan aku sadar, aku tidak mampu meneruskannya jika wanita itu ... bukan Hyuuga Hinata."

"Naru—"

"Dan sebenarnya, sejak saat itu aku sudah sangat ingin memberhentikan Hana," sela Naruto memberitahu. "Karena itu pula, aku mohon, berhentilah merasa bersalah. Ada atau tidaknya dirimu, Hana memang akan berhenti dari pekerjaannya."

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Hinata ragu-ragu, yang dibalas Naruto dengan dehaman pelan. "Kenapa kau memberiku pil pencegah kehamilan kalau kau memang belum menikah saat itu?"

"Kau sungguh tidak tahu alasannya?"

Hinata menggeleng pelan. "Jika kau sudah menikah, aku mungkin akan memahaminya. Kau tidak ingin selingkuhan tidak tahu dirimu ini sampai hamil dan merepotk—"

"Kau bukan selingkuhanku, Hinata," potong Naruto dengan nada tidak suka. "Sedari awal, kau terlalu berharga bagiku untuk dijadikan yang kedua. Dan mengenai pertanyaanmu ... kau pernah mengandung karena kecerobohanku," sambung Naruto sembari membelai punggung tangan Hinata. "Dan kita berdua tahu betapa besar dampak yang terjadi setelahnya."

"Tapi saat kita bertemu kembali, kau tahu semuanya sudah berbeda dari situasi lima tahun lalu, Naruto," sanggah Hinata tak setuju.

"Bagaimana aku tahu bahwa semuanya sudah berbeda?" Naruto bertanya balik. "Baiklah, dari segi usia, kau memang sudah lebih matang dari saat itu. Tapi bagaimana dengan mental dan batinmu? Apakah kau benar-benar sudah siap untuk menjadi seorang ibu?" cecarnya tanpa henti.

Hinata kontan mengatupkan bibirnya rapat, bungkam sejenak karena kehabisan kata-kata.

"Jika di saat kita masih menjalin hubungan saja, kau sudah tertekan seperti saat itu, lalu bagaimana jika kau sampai hamil lagi di saat kita berdua telah berpisah sekian lama dan belum resmi kembali bersama?" tutur Naruto menjabarkan. "Aku hanya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, sekalipun semua yang menyangkut dirimu selalu saja terasa benar bagiku."

"Naruto," gumam Hinata pelan sarat akan haru.

"Tapi ... yeah, lagi-lagi, kita kembali ceroboh." Naruto malah tergelak santai. "Bukannya bermaksud tidak bersyukur atas kehadiran bayi mungil kita, tapi sebenarnya aku jadi bertanya-tanya, apakah alat kontrasepsi yang kita gunakan benar-benar aman? Atau ... kita berdua yang memang tidak memakainya dengan benar selama ini?" celetuknya penasaran.

Sedangkan Hinata tersentak pelan saat mendengarnya. Wanita bersurai indigo itu mengulum bibirnya resah, memandang takut ke arah Naruto yang saat ini mengernyit bingung kepadanya.

"Ada apa, Hinata?" ucap Naruto bertanya.

"Aku juga ingin jujur," jawab Hinata gelisah. "Sebenarnya ...."

"Sebenarnya?"

"Aku sengaja tidak meminum pil kontrasepsi yang kau kirimkan saat itu," Hinata melanjutkan seraya menunduk dalam guna menghindari tatapan mata Naruto. "Aku sengaja melakukannya, Naruto."

"Hinata?" Naruto jelas terkejut. "Apa kau serius?"

Hinata mengangguk cepat. "Saat itu, aku mengira kita tidak akan pernah bertemu lagi," jelasnya seraya meremas gugup hoodie kebesaran yang Ia kenakan. "Dan kupikir, jika aku memang tidak bisa mendapatkanmu kembali, maka ...."

"Maka kau bisa memiliki anakku yang kemungkinan akan tumbuh di dalam perutmu," Naruto berkata, menebak arah pengakuan mengejutkan wanita itu.

"Aku sudah nyaris gila karena penyesalan saat itu, dan aku ... minta maaf." Bibir ranum Hinata bergerak mengerucut lima senti ke depan, cemberut dan terlihat begitu menggemaskan di mata Naruto.

"Untuk apa?" sahut pria pirang it segera, meraih dagu Hinata dan membuat wanita itu membalas pandangan matanya. "Aku yang seharusnya berterimakasih karena telah memberi kesempatan bagi dia untuk hadir," sambungnya sembari melirik perut datar Hinata. "Aku benar-benar bersyukur, Hinata. Dan percayalah, kau akan menjadi seorang ibu yang hebat."

.


.

.

(⁠☞゚⁠∀゚⁠)⁠☞

Remorse ✔️Where stories live. Discover now