5. Datangnya Keroyokan

31K 2.8K 100
                                    

Cerita ini mengudara setiap Senin-Jumat. Happy weekend, kembali update hari Senin yaa🙏

Disarankan vote dulu sebelum baca, thankyu❤
____

Tidak, aku tidak melakukannya walau sempat terbujuk. Tadi pagi nomor Cakra kubuka blokirannya, coba menuliskan pesan sebelum akhirnya urung kukirim. Saking frustasinya antara mengirim pesan atau tidak, tombol callingnya tersentuh, alhasil panggilanku tersambung.

Jelas segera kuputus. Tak lama dari itu kukembalikan lagi nomornya ke daftar kontak terblokir.

"Terima kasih ya Mbak Ina sudah mau gantiin pegawai saya. Karena Mbak temennya Mbak Caca gak papa makan malam di sini aja, gratis. Pilih menu yang Mbak mau."

Ya, aku bersedia menjadi pelayan hanya untuk bisa makan dan menghemat uang. Tentunya pekerjaan ini berlaku satu hari saja karena besok pegawai aslinya sudah kembali.

Aku tidak menolak saat dipaksa duduk memesan setelah seharian lelah melayani. Katanya roda berputar, tadi aku yang melayani sekarang aku yang dilayani. Kemarin aku berkecukupan, sekarang aku kekurangan. Mencoba positif, semoga hari ini sulit, besok akan lebih mudah.

Aku menanti keajaiban dan pertolongan Tuhan. Pasrah sambil berusaha sebisa mungkin. Nasi goreng seafood ini seperti biasanya, enak. Yang membedakan adalah durasi dalam menandaskan isi piringnya.

Sebelum-sebelumnya, porsi ini terlalu banyak untukku, tidak bisa masuk semua ke perut. Tapi hari ini aku bak busung lapar, bak tunawisma tiga minggu tidak makan. Lahap sekali.

"Iya, hallo Dek?" Sapaku mengangkat telpon. Piring kosong kusingkirkan ke sisi sebelah. "Ada apa?"

"Mbak Ina lagi apa? Baru pulang kerja ya?" Tebak Bara di sebrang sana.

"Iya, tapi lagi makan dulu nih belum sampe rumah. Kenapa? Jangan-jangan ibu sakit lagi ya?" Khawatirku berpikir yang tidak-tidak.

"Enggak kok Mbak. Semenjak ada Mbak Mara, ibu lebih keurus." Ada helaan napas berat terdengar. "Mbak, uangnya udah aku bayarin ke akademik. Udah beres buat satu semester ke depan. Makasih banyak ya, Mbak."

Iya, untungnya kemiskinan ini terjadi setelah aku berhasil menyisihkan biaya awal pendidikan Bara. Setidaknya tidak terlalu pusing.

"Tapi Mbak, aku kan rencananya lusa mau mulai ke Bandung ya. Nah, ternyata Bian tuh pesen kos-kosan yang langsung satu tahun gitu Mbak. Gimana ya aku gak enak sebenernya, Mbak ada gak kira-kira uangnya?"

"Sekitar dua jutaan lagi karena kemarin kan dapet potongan dari pihak akademi. Jadi tinggal tambah-tambah aja Mbak."

Aku menahan napas agar tidak mengembus lelah. "Nanti besok ya Mbak tf, Bar."

"Maaf banget Mbak, aku janji bakal belajar yang bener biar biaya yang Mbak keluarin gak sia-sia. Makasih banyak Mbak, Mbak Ina sehat-sehat ya."

Kenapa sih masalah di hidupku menjelma seperti hujan? Datangnya keroyokan. Sudah apes bayar utang anak orang, nyaris kena tawanan tua bangka, kehilangan pekerjaan, dan tercekik kebutuhan. Jika ada yang bilang uang adalah penguasa dunia, maka aku setuju.

Tanpa bisa dicegah dalam posisi telungkup di atas meja, air mataku turun. Ya Tuhan harus bagaimana lagi? Yang kubutuhkan saat ini hanya kedatangan dewa penolong bukan malah hal-hal menyebalkan.

Badanku mendadak merasakan dingin, terutama di bagian kaki dan punggung sebelah kanan. Rasa basah itu menyergap bersamaan dengan bunyi gudubrak dan kerusuhan di sekitarku.

Bagus sekali, tubuhku memang gemar disirami oleh zat-zat manis dan dingin. Setelah kemarin sepatuku tertumpah es jus anak Cakra, lalu sekarang apa lagi?

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang