21. Stop Denial

21.1K 1.6K 3
                                    

Selamat membaca🤗

___

Menyebutku lumpuh terlalu berlebihan, spontan aku pun mengamit-amitkan. Demi cepat pulih aku disiplin dalam perawatannya, minum obat, mengoles salep anti radang dan sering mengompresnya. Alhasil lumayan juga, saat hari Minggu sore tiba di Jakarta, pergerakan kakiku lebih luwes.

Tentu bu Narti menyambut dengan raut terkejut. Dari gerak-geriknya aku yakin sudah tersusun beribu tanya di kepala. Sayang, ada satu prinsip dimana tuan adalah prioritas.

Saat mulutnya terbuka hendak bertanya, Cakra lebih dulu bersuara. Ia menyerobot bertanya tanpa ragu. Mau tak mau bu Narti mengalah, persilakan Cakra lebih dulu bersuara.

"Siapa ini?" Tanya Cakra yang sebetulnya jadi pertanyaanku juga.

"Oh, ini Ria, Mas. Bu Iren kemarin bawa ke sini katanya suster baru Lio." Beritahu bu Narti mengikis rasa penasaranku terhadap gadis yang berdiri tak jauh dari bu Narti.

Spontan kepalaku mengangguk, ternyata niat Marisssa dan tante Iren benar-benar serius. Mereka ingin aku segera pergi. Gajian tinggal seminggu lagi, setidaknya semoga Cakra tidak memecatku hari ini. Sayang kalau gajinya turun tidak full.

Uang hasil jual barang kemarin memang lumayan namun mustahil bisa mengcover hidup sebulan ke depan. Jadi, harus kuakui aku butuh gaji ini untuk hidup lebih tenang.

Lio yang terseret dalam percakapan mengamit tanganku, ia bergelayut di samping kiriku. "Lio gak perlu suster baru. Tante Nara satu udah cukup."

"Tapi bu Iren bilang gak bisa mulangin Ria gitu aja. Ria udah dipilih mbak Marissa juga, skillnya udah teruji kompeten." Lanjut bu Narti.

"Seolah Inara gak kompeten aja!" Dengus Cakra kesal.

Gamitan Lio di lengan memudar, ia melepas seketika. "Mama ada ke Jakarta?"

"Gak ada Den, cuma lewat telpon saja."

Rautnya masam seketika, ada rindu terlukis di sana. Entah mengapa kemarin saat di Jakarta Marissa absen menemui Lio. Antara tak memendam kangen yang sama seperti Lio atau ada faktor lain, misal Cakra melarangnya. Ah, itu dapur rumah tangga orang, aku mana boleh penasaran.

Perkara Ria, dia tampak muda belia, jika boleh kutaksir umurnya mungkin sepantar dengan Bara. Ada ketegangan menyelimutinya. Aku tahu pasti bagaimana perasaan tidak diinginkan. Respon Cakra dan Lio kompak menyiratkan bahwa kehadirannya tidak dibutuhkan.

"Bu Iren bilang Mbak Inara boleh menempati apartemen beliau di daerah Karet selagai belum nemu hunian yang pas dan kerjaan yang sejalur." Terang bu Narti. "Beliau udah coba bantu kirim CV Mbak ke koleganya, yang pastinya sesuai sama jenjang pendidikan dan experience Mbak Inara."

"Lio gak mau tante Nara pergi!" Bantah Lio tegas. "Apalagi kakinya lagi sakit gara-gara Lio."

Cakra memijat pelipisnya pusing. Seketika kulihat matanya mengerling gadis belia tersebut. "Kamu boleh bekerja di sini tapi tugasnya bantu bi Narti sama Mbak Inara aja ya."

Lalu mata kami saling beradu pandang. "Buat Inara jangan coba pergi dari sini. Buatin aku kopi nanti antar ke kamar."

Kopi hanya alibi, tujuan utamanya pasti ingin mengupas permasalah ini lebih mendetail. Cakra bukan tipe rewel atau yang memiliki takaran khusus untuk kopinya. Diaduk sekali atau dua kali, gulanya sedikit atau banyak, dia tak pernah mempermasalahkan perbandingan tersebut. Asal kopinya enak, ia tak pedulikan takarannya.

"Kamu gak terganggu sama kejadian tadi kan Na?" Tanyanya mulai menghidupkan laptop.

Aku diam bingung mau jawab apa. Pertama karena memang sebelumnya sudah tahu ada kubu yang menginginkanku angkat kaki dari sini, kejadian tadi tak begitu mengguncang. Kedua karena memang aku sudah berencana menuruti mau tante Iren saat tak sengaja mencuri dengar di kantor tempo hari, aku sudah memiliki rencana. Tunggu gaji turun baru aku pergi.

Ketika Berhenti di KamuWhere stories live. Discover now