29. Sekedar Semu

16.6K 1.2K 32
                                    

Selamat membaca2🤗

____

Intropeksi diri tak selalu membuahkan, ada masanya otak sulit mencerna apa yang sebelumnya keliru. Cakra sudah membalas pesanku, singkat saja. Ia bilang batal pulang hari ini. Mengenai alasan, Cakra kembali bungkam.

Entah kesalahan apa yang kuperbuat sampai membuatnya seperti mendiamkan, tiba-tiba lagi, padahal sore tadi semuanya masih normal. Ragu aku menekan kontaknya, di pojok kiri layar ponsel tertera angka 23.23, mungkin tidak aku menghubunginya?

Ada perasaan takut mengganggu tapi keresahanku terlalu buruk bila dibiarkan begitu saja. Akhirnya setelah sepuluh menit menimbang, tombol hijaunya kutekan. Percobaan pertama gagal, berdering tanpa respon. Percobaan kedua gagal juga, berdering tapi kemudian ditolak.

"Hah? Direject?" Tak percayaku agak kaget. Level dimana Cakra menolak panggilanku adalah ketika ia benar-benar marah. "Serius Cakra ngambek? Tapi karena apa?"

Dalam bingung tetap kucoba hubungi lagi. Berhasil, napasku sedikit menemu kelegaan hingga di detik berikutnya kembali tercekat, seakan saluran napas dipersempit ketat.

"Hallo?" Sapa suara tersebut.

Pertama karena suara tersebut dominan cewek, kedua ada suara desah tak tertahankan, ketiga ada bunyi derit ranjang dan pertumbukan kulit bertemu kulit. Siapapun orang dewasanya pasti mengertilah aktivitas apa yang dilakukan di sebrang telpon.

"Cakra?" Tanyaku memastikan diantara keterhenyakan.

"Duhhh, ah, pak Cakra ah..." terbata-batanya. "Bisa hubungi beso ahh, besok ya."

Setelah itu dimatikan. Pening kupijat pelipis bergantian, ya Tuhan barusan apa yang kudengar? Benar itu Cakra pelakunya? Tadinya kupikir dengan menghubungi Cakra akan membantu meleburkan gelisah, tidurku mungkin bisa nyenyak. Faktanya malah tambah gundah gulana. Aku yakin malam ini tidur berkualitas hanya angan semata.

Sepanjang sepuluh tahun sepak terjang hubungan kami, warna pertengakaran yang mencolok hanya remeh temeh seperti saling cemburu tanpa pernah terbukti saling main belakang.

Boro-boro selingkuh sampai terbawa ranjang, menanggapi wanita yang mengejar-ngejarnya saja jarang. Jadi peristiwa barusan banyak mengguncang. Kaget pastinya dan tidak percaya.

"Kok bisa ya Cakra begitu? Itu bener Cakra bukan?" Kugigit ujung telunjuk keras. "Tapi ceweknya siapa? Asisten barunya?"

Anita- wanita tersebut ditunjuk bukan tanpa maksud. Tante Iren berharap keduanya memiliki hubungan lebih dari rekan kerja. Meski Cakra mengaku tidak tertarik tapi siapa yang tahu hati terjujurnya bagaimana. Mulut lelaki mayoritas sebatas bualan.

"Ah, gak tahu deh pusing!"

Detik per detiknya berlalu begitu saja. Aku melewati malam sampai dini digenapi gelisah tak menentu. Entah pukul berapa risau itu berujung lelah hingga akhirnya gelap dan terlelap.

Jelasnya saat sorot mentari membangunkan, Cakra sudah kembali. Ia menungguku di ujung ranjang dekat kakiku berada. Senyumnya selalu terukir lebar.

"Morning!" Sapanya mengulur tangan sembari bergeser mendekatku. Ia merengkuh tubuhku seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kapan pulang?" Hanya itu yang terlintas kutanyakan, tak mungkin langsung ultimatum. Siapa aku memang? Pacar juga bukan!

"Pukul tujuh tadi."

Spontan aku melirik jam dinding, pukul sepuluh. Wah, tidurku lama juga. Kembali fokusku mengarah Cakra. Bolehkah aku meminta penjelasan bagaimana kemarin Cakra menjalani malamnya? Dimulai dari hilangnya minat membalas chatku sampai perkara desah tersebut.

Ketika Berhenti di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang