0.6

64 12 1
                                    

Renjun diseret lagi.

"Pelan-palan, elah." Gerutuan berirama malas yang kesekian telah melayang memasuki telinga Ryu.

"Kita mesti cepet, Jujun."

Manik mata yang bersangkutan berputar kesal. "Bisa gak sih, gak usah manggil gue Jujun? Kita baru baikan dan gue masih agak dendam sama lo, asal lo tau aja."

"Tadinya enggak." Ryu menjawab, masih sambil menyeret Renjun dengan kekuatan yang cukup untuk menyeret seekor kerbau. "Terima kasih atas pemberitahuannya, omong-omong."

Selagi Renjun masih tergeret, mari mundur pada adegan "baikan" keduanya ...

"Jun! Gue tahu gimana caranya!"

Kepala Renjun yang semula menelungkup di atas meja perlahan terangkat dan segera saja Ryu terkesiap.

"Lo kenapa?! Kantong mata lo kok, udah menjelma jadi kantong keresek begini?!"

Maksudnya dia terlampau kaget dengan kantung mata menghitam yang bergelayut bawah mata Renjun, sarat lelah dan agak kendor.

Renjun yang memang dasarnya sedikit pendendam, menolak bicara. Dia malah merengut, sebelum kembali menyembunyikan wajahnya ke dalam lipatan tangan.

"Ih, malah molor lagi!" Ryu menggembungkan pipi, kesal telah diabaikan. Ia mengambil napas sebagai awalan untuk menggebrak mejanya sendiri yang berada di samping meja tunggal milik Renjun.

Sukses, cowok mungil itu terperanjat. Wajahnya yang kusut tampak sangat kaget. Ryu meringis. Apa Renjun barusan tertidur?

Jika iya, tandanya dia mesti siap-siap buat ngacir. Soalnya siapa yang tidak akan naik pitam jika dibangunkan dengan cara teramat tak manusiawi. Terlebih ini Renjun yang "emosian" merupakan nama tengahnya.

Tetapi Renjun yang hanya mengembuskan udara, membikin rahang Ryu jatuh menghantam lantai.

Barusan itu, keajaiban macam apa?

Tercengang Ryu tak bertahan lama sebab sepersekian detik berikutnya raut prihatin mengambil alih. "Jujun ...." panggil dia pelan. Memunculkan kerutan heran di dahi si pemilik nama. "Gue minta maaf kalau selama ini gue banyak salah ama lo. Gue minta maaf karena pernah gak sengaja cemplungin bungkusan cilor lo ke kolam renang terus ngibrit dan gak bilang kalau itu ulah gue. Tapi percaya deh, gue gak sengaja, suer."

Mari lewatkan pasal cilor kecemplung kolam, kini Renjun hanya ingin bertanya, "Lo mau apa sih Ryu?"

Karena sungguh, dia tidak punya tenaga untuk menadeni tingkah polah Ryu.

Cewek itu mencebik, berarimuka sedih. "Kata orang, 'kalau seseorang mulai berperilaku diluar kebiasaanya, apalagi yang tadinya kayak setan jadi sebaik malaikat, tandanya umurnya gak bakal lama lagi'."

Renjun perlu lima belas detik untuk memproses kalimat barusan. Maka ketika sudah paham, alis menukik tajam terpampang nyata di depan Ryu. "Maksud lo kelakuan gue kayak setan?!"

Tidak juga sepertinya. Mesin di otak Renjun yang berwajah berang ini mungkin sudah sedikit berkarat.

Padahal maksud Ryu–

"Lo bentar lagi modar, Renjun."

Nah, itu.

Ryu berdecak enteng tanpa menyadari telah mengundang aura hitam yang menyeruak dari dalam diri sang sahabat.

"Lo nyumpahin gue cepet koid?!" Renjun berseru, mengundang atensi. Beberapa murid yang lalu-lalang di koridor sempat mengintip lewat jendela sebatas dada, sebelum melengos kala tahu pusat keributan merupakan kawan karib yang memang sering terlibat adu mulut.

SEVENTEEN DAYS | JAEMRENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang