0.7

70 12 0
                                    

"Ssssh ...." Renjun berdesis, menaruh bungkusan kain berisi es batu yang selesai digunkan untuk mengompres memar di kening, lanjut merebahkan diri pada brankar UKS.

Tepat ketika memejamkan mata, otaknya kontan dihantam kepingan memori yang semula telah ia usahakan untuk hancur. Malah kini telah mewujud jadi satu tayangan video yang disetel berulang, menampilkan insiden yang mengantarkannya ke tempat ini.

Jadi begini, sewaktu Renjun melenggang di koridor menuju kelas, seseorang dengan kaca mata tebal dan buku terselip di bawah ketiak berada di jalur yang berlawanan. Renjun melotot, tancap gas begitu sadar kedatangannya mepet-mepet dengan guru.

Dalam perjalanan itulah Renjun tersandung kakinya sendiri dengan sangat anggun, lantas terjerembab dan keningnya membentur lantai. Yang tak ia sangka adalah dirinya akan memekik nyaring.

Seluruh isi kelas yang ada di lantai itu menyeruak, berbondong-bondong mengintip dari jendela.

Selama beberapa saat Renjun tetap dalam posisi, sibuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Butuh dua menit untuk wajah putihnya berubah merah diserbu segenap malu.

Penonton budiman mulai terkekeh-kekeh ketika rusuh Renjun beranjak. Merasa sesak sendiri saat puluhan mata menghujani dengan raut geli. Napas Renjun sempat tertahan ketika menemukan sisa tawa di bibir sang guru. Pria paruh baya itu bahkan tak repot-repot menolong dan lebih tertarik dengan selera humornya.

"Saya izin ke UKS, Pak."

Pak James itu baik hati, percayalah. Hanya sangat pelit dalam memberi izin ke toilet. Kalau izin ke UKS ditambah bukti kening benjol, maka akan dengan senang hati ia membukakan jalan.

Renjun malu. Sungguh sangat malu sampai tidak berani kembali ke kelas. Entah bagaimana cara pulang nanti dan mari pikirkan itu nanti juga. Terpenting sekarang dia memiliki ruang untuk bernapas dan menenangkan diri.

Kelopak mata Renjun saling menempel erat. Merasa sedikit membaik saat semilir angin merintis lewat celah tirai. Mungkin pendingin ruangan di sini telah diperbaiki -Renjun tahu benda itu sempat rusak.

Menit terlewati beriringan dengan alam mimpi yang mulai membuai. Pelan tapi pasti, keheningan beralih menuju suara debur ombak dan aroma garam yang menggelitik hidung, kemudian suasana pantai dengan hiruk pikuk orang di dalamnya menyusul. Samar-samar terdengar seperti ada bentangan layar yang didorong angin dan suara dengung cerobong kapal yang sangat jelas. Lalu datang embus angin yang menyapu keras sampai membelalakkan mata Renjun seketika.

Berpaling, ia jumpai tirai menjuntai-juntai dan di satu sisi lain pendingin udara tidak ada di tempat.

Pertanyaannya, barusan itu apakah hanya bagian dari segenap imajinasinya saja?

Derap kaki menggema di koridor. Seseorang datang terburu lalu pergi. Renjun kurang gesit untuk dapat memastikan siapa. Tak lama saat Renjun hampir rebah kembali, suara langkah hadir lagi, cepat. Renjun tebak, mereka bukan orang yang sama sebab tiada kesan terburu dalam langkah ini, melainkan terdengar berat.

Percakapan dalam intonasi rendah menyusul di pendengaran. Ternyata di depan pintu sana ada dua orang.

Tirai disibak Renjun saat rasa penasaran menyelinap hadir. Dalam posisi merapat sambil berjinjit di tembok, mata Renjun yang mengintip lewat jendela melebar.

Satu degup keras tercipta dengan tidak mengenakan. Renjun sampai harus menekan bagian di mana jantungnya berada saat benda tersebut seperti tahanan yang memberontak ingin dikeluarkan, berbuat gaduh di dalam kungkungan barisan tulang rusuknya.

Renjun tidak salah lihat, kan? Tidak. Bukan itu pertanyaan yang tepat mengingat matanya belum mengalami penurunan kinerja, tetapi ...

Bagaimana dia bisa ada di sini?

SEVENTEEN DAYS | JAEMRENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang