11) Malam yang Panjang

109 19 0
                                    

oOoOo

Setelah makan malam, Rizwan masuk ke dalam kamar untuk segera membereskan barang-barang miliknya. Luka di lengan sudah membaik, tubuhnya juga tidak terlalu kaku dan nyeri seperti sebelumnya. Pria itu menatap buku yang tulisannya luntur, ponsel yang mati, kemudian dimasukkannya kembali ke dalam tas.

Malam ini begitu dingin, dan perlahan rintik hujan turun menjadi deras. Pria itu menggunakan jaketnya, dan berusaha untuk tidur malam ini, bersama Nico yang belum juga menutup matanya.

Besok Jeff dan Ardi akan menjemputnya. Rizwan sudah memberitahu kepada Paman Sham dan istrinya mengenai hal itu. Besok pagi, ia akan pulang dan pergi dari tempat ini. 

"Apa kau akan pergi besok?" Mendadak, Nico bertanya.

"Iya, aku harus pulang."

Anak laki-laki yang berbaring di sampingnya itu menatapnya. "Kenapa tidak tinggal di sini saja?"

Rizwan tersenyum kecil. "Ini bukan rumahku. Lagipula, aku tidak ingin merepotkan Kakek dan Nenekmu terlalu lama," jawabnya, "aku juga memiliki pekerjaan di sana. Bosku pasti akan memarahiku saat pulang nanti."

"Kalau begitu, jangan pulang saja."

"Kenapa? Apa kau merasa kesepian?"

Nico membelalakkan matanya, ia menarik selimut untuk menutupi wajahnya. "Tidak, aku adalah anak yang mandiri." Rizwan hanya diam, lalu menatap langit-langit berdebu dengan pencahayaan yang minim.

Waktu mulai masuk tengah malam, tapi Rizwan masih belum bisa terlelap, entah kenapa, perasaannya mulai tak enak. Mungkin, ia harus meminum sesuatu yang hangat. Pria itu bangkit dari posisinya, kemudian berjalan ke dapur untuk memanaskan air dan membuat secangkir teh.

Saat dirinya hendak pergi ke dapur, di tengah riuhnya suara air hujan, telinganya mendengar suara langkah kaki yang memecah genangan air di luar sana dengan cepat, dan ... banyak. Apakah itu suara tetangga? Tapi ... di tengah malam dan hujan seperti ini?

Rizwan yang curiga mencoba mengintip di balik jendela kamar, dan dirinya dibuat terheran, saat melihat beberapa orang tengah berkumpul di depan rumahnya. Dan hal yang membuat dirinya semakin terkejut ialah, orang-orang itu membawa beberapa senjata.

Pria itu tidak bisa berpikir jernih. Apakah itu perampok? Rizwan tidak mungkin bisa mengalahkan orang sebanyak itu, terlebih lagi jika mereka membawa senjata. Terdengar suara pintu kamar di buka, saat berbalik, ada bibi Sham di sana. Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir, lalu mendekat ke arah Rizwan.

"Ambil ini," bisik bibi Sham, lalu menyodorkan sebuah kantong hitam berukuran kecil pada Rizwan. "Kunci pintunya dari dalam, lalu naik ke atap."

"Apa? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Rizwan panik, dengan suara pelan.

"Jangan panik, lakukan saja. Tolong ... jaga Nico," katanya.

Rizwan bisa melihat tangan wanita tua itu bergetar hebat, ia kemudian berlari kecil keluar dari kamar itu. Pria itu hanya menurut, kemudian mengunci pintu dari dalam, dan berusaha membangunkan Nico yang terlalap dalam mimpi indahnya.

Anak laki-laki itu masih dalam keadaan setengah sadar, tapi saat Rizwan menyuruhnya untuk bersembunyi di atap, reaksi anak laki-laki itu berubah cepat, ia menunjuk ke langit-langit kamar paling ujung, dan terlihat sebuah pintu kecil di sana.

Mungkin, Rizwan harus menggunakan meja yang ada, ia mengambil meja yang ada, kemudian menggesernya. Ia harus menaikkan Nico terlebih dahulu. Pria itu naik ke atas meja, kemudian menggendong Nico agar naik ke pundaknya.

Saat Nico sudah sampai di loteng, terdengar suara pintu didobrak paksa dari luar. Suara langkah seseorang terdengar keras. Mereka pasti seorang komplotan perampok yang masuk ke dalam rumah. Jika ia naik sekarang, para perampok pasti tahu kalau mereka pergi ke loteng karena meja yang di tinggalkan. Tapi, ternyata, Nico mengulurkan sebuah tali.

Bayangan Putih III : Pisau Tumpul [✓]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora