13) Gangguan Kepribadian

114 18 0
                                    

oOoOo

"Itu ... itu simbol yang sama, yang Rizwan temukan di kamar Wina," bisik Luissa.

"Apa?!" Gabi mencoba mengintip, lalu matanya menangkap apa yang Luissa lihat.

Ada sebuah simbol asing baginya, yang tergambar di lantai kayu. Tidak ada jenazah di sana, hanya ada beberapa polisi dengan seorang pria yang menggunakan kemeja tengah mengobrol bersama mereka.

"Hei, siapa itu?!" Luissa dan Gabi terperanjat, kemudian mematung di tempat. Kaki keduanya terasa tidak bisa digerakkan dan akhirnya, seorang pria menggunakan kemeja berwarna hijau tua dengan sebilah tongkat menghampiri mereka.

"Siapa kalian?" tanyanya, dengan suara berat.

Luissa dan Gabi saling menatap."Ka-kami seorang mahasiswa," jawab Gabi, terbata-bata.

"Kami ke mari untuk mencari seorang narasumber, untuk tugas mata kuliah kami," sela Luissa, penuh kebohongan.

"Karena penasaran, kami langsung ke tempat ini. Kami tidak menyentuh apa pun, tolong maafkan kami," lanjut Gabi, sedikit membungkukkan tubuhnya.

Pria itu tersenyum. "Ah, mahasiswa," ujarnya, "selamat datang di distrik ini. Kenapa kalian bisa ada di sini? Apakah orang-orang di luar memancing rasa penasaran kalian? Mohon maaf, kejadian tragis seperti ini, baru pertama kali terjadi di sini."

Pria itu memberikan tangannya pada Gabi, mengajaknya bersalaman. "Perkenalkan, nama saya Albert."

Luissa terpaku, tatapannya menelusuri pria itu dari atas ke bawah. Albert lebih tinggi darinya, mungkin hampir sama seperti Rizwan. Kulitnya sedikit gelap, rambutnya ditata dengan rapi dan sangat wangi. Hal yang paling mencolok dari pria dihadapannya ini adalah, warna matanya. Warnanya cokelat, tapi lebih terang dengan bulu mata yang lentik.

Hidungnya tidak mancung, tapi giginya rapi dengan alis yang tebal. Pakaiannya tidak begitu mencolok, ia menggunakan kemeja dengan celana berwarna hitam, sepatu formal dan sebuah tongkat berwarna cokelat yang digenggam di tangan kirinya.

"Albert ... Anda Mr. Albert French?" tanya Gabi, memastikan, lalu menerima jaba tangannya. "Saya Gabi, senang bertemu dengan Anda."

"Tidak perlu memanggil saya dengan nama lengkap itu, panggil saja Albert. Lagipula, usia kita sepertinya tidak jauh berbeda." Senyumnya.

Gabi membalas senyumannya. "Tentu saja tidak. Anda adalah tuan tanah di distrik ini, saya sangat senang bisa bertemu dengan Anda, walaupun di waktu yang kurang tepat," paparnya, lalu melirik ke arah Luissa. "Ini Luissa."

Albert tersenyum, tapi tidak mengajaknya bersalaman. "Salam kenal, Luissa. Namamu indah sekali."

"Senang bertemu denganmu, Mr. Albert. Terima kasih untuk pujiannya," kata Luissa, "saya ingin membicarakan hal penting dengan Anda." Gabi melebarkan matanya, saat mendengar Luissa sepertinya akan berterus terang.

"Bicara mengenai apa?"

"Hal yang cukup penting," jawabnya, "ini untuk tugas kuliah. Kami ingin mewawancarai Anda, sebagai narasumber mengenai sistem sewa tanah di distrik ini. Apakah Anda memiliki waktu luang?"

Albert tersenyum, lalu berkata, "Tentu saja. Tapi sayangnya, jadwal saya cukup padat untuk ke depan. Mulai besok, saya harus pergi ke luar kota, untuk pekerjaan. Apakah kalian tidak keberatan menunggu beberapa waktu?" Luissa dan Gabi saling menatap, lalu mengangguk.

Bayangan Putih III : Pisau Tumpul [✓]Where stories live. Discover now