Bab 5

158 58 6
                                    




Sebelum baca, pencet vote dulu sebentar, bisa doooong😗









***

Ini kan, hari Minggu. Kebiasaanku setiap pagi setelah selesai nyapu rumah dan cuci piring adalah bersih-bersih lemari kacaku. Tempat di mana semua figur art dari anime kesayanganku dipajang di sana. Ini merupakan salah satu kegiatan kesukaanku, bersih-bersih debu dari sela-sela terkecil dan membuat semuanya jadi balik kinclong lagi.

Ya gimana pun juga, pemandangan dari mainan-mainanku ini lah yang bisa nyembuhin kecapekan ku setelah pulang dari luar. Engsel-engsel dari tulangku yang melorot bisa balik segar lagi waktu masuk kamar dan disambut sama figur art yang didominasi sama Sakura-chan.

Oh iya, mengenai Candra, katanya, dia bakal jemput aku jam sembilan pagi. Makanya sekarang aku bisa santai-santai sejenak setelah mandi. Bisa ngeringin rambut, atau catokan dulu. Ya meskipun aku tahu kalau nanti juga pasti bakal berantakan lagi karena Candra bakal jemput aku pakai vespanya.

Tapi nggak beberapa lama aku menyelesaikan catokan di rambutku yang pendek, teriakan nyaring Wirta yang kayaknya udah biasa banget mengganggu hari-hariku terdengar.

"KAAAAK, PACARNYA DATEEEEENG!" Begitu katanya. Yang membuat aku mau nggak mau langsung loncat dari tempatku duduk dan langsung berlari keluar. Apa coba maksudnya? Sejak tiga tahun yang lalu, aku ini jomblo akut dan sama sekali nggak pernah bawa pacar ke rumah!

Dan ternyata bukan cuma aku aja yang keluar dari kamar setelah dengar teriakan nyaring dari suara Wirta. Bu Winda dan Pak Jonat justru malah nggak kalah hebohnya. Kedua orang itu bahkan keluar duluan dibanding aku menuju gerbang. Baru lah di sana aku melotot sejadi-jadinya menemukan sosok jangkung dari Candra bersama vespa kelabunya yang sudah berhenti di depan gerbang rumahku.

"Dia beneran pacar kamu, Kak?" Bu Winda menepuk keras lenganku. Sedangkan Pak Jonat yang bertugas membuka pintu gerbang besi itu dan mempersilakan Candra masuk bersama vespanya. Ini masih jam delapan pagi. Cowok itu bener-bener nggak bisa nepatin janji!

"Bukan, Ma." Aku mana pernah berani bawa cowok ke rumah. Ini pertama kalinya. Terakhir pacaran tiga tahun yang lalu, aku sama sekali nggak pernah ngenalin cowokku ke Mama atau pun Papa. "Temen kuliahku."

"Ah, masa?" Bu Winda mengernyit nggak percaya. "Coba Mama tanya sendiri," kata beliau langsung menyerbu Candra. Berbasa-basi ramah tamah dan bahkan sampai gandeng lengan Candra untuk masuk ke dalam.

Cowok itu meringis waktu mata kami nggak sengaja ketemu dan aku memelototinya.

Keluargaku ini isinya emang orang-orang banyak omong semua. Nggak Mama atau Papa, bahkan adik laki-lakiku Wirta, keceretan serta cara mereka bersosialisasi emang nggak ada tandingnya. Beda banget sama aku yang cuma punya temen si Yuna doang. Makanya nggak heran, waktu ada cowok dateng ke rumah, mereka jadi heboh bukan main. Beneran kayak semut yang ngerubungi gula. Aku jadi malu sendiri.

"Jadi kamu ini temen kuliahnya Petra?" Mama memulai ketika Candra udah berhasil dia bawa untuk duduk di kursi sofa ruang tamu. "Ngambil jurusan apa?"

"Seni musik, Tante." Candra jawab kalem. Aku yang seperti biasa bertugas melayani para tamu Mama yang datang meletakkan secangkir teh di depannya.

"Oh, seni musik. Jadi bisa main alat musik apa aja?" Papa ikut nimbrung. Demi apapun, ini bukan lagi audisi pemilihan calon idol, deh, kayaknya.

"Hmm, tergantung, Om penginnya yang mana."

Dih, jawabannya sombong banget. Aku mencibir. Kayaknya pas di dies natalis tahun lalu juga dia cuma main gitar aja. Sok-sokan tergantung penginnya yang mana.

"Aku mau izin pergi sama Candra, Pa," kataku cepat. Pamitnya sama Papa karena cuma beliau aja yang bakal ngizinin aku pergi ke mana-mana tanpa banyak tanya. "Buat nemuin Pak Bima. Kemarin berangkat nggak sempat ketemu."

"Jadi kemarin kamu ngapain berangkat ke kampus tapi malah nggak ketemu dosennya?" Mode julid Mama langsung aktif.

"Kemarin Petra nunggu Pak Bima selesai ngajar, tapi nggak sempat ketemu setelahnya, Tante. Makanya hari ini saya mau bantu dia." Unggah-ungguhnya udah kayak yang sopan banget.

Tapi karena nggak mau berlama-lama, akhirnya aku cuma pakai celana joger dan sweater hitam dan mengalungkan tas selempang. Langsung pamit ke kedua orangtuaku di mana Bu Winda udah mengeling kedap-kedip mirip orang cacingan.

"Katanya bakal dateng jam sembilan? Kenapa nggak ngabar-ngabarin kalau mau dateng sekarang? Untung tadi gue udah siap-siap, ya." Mukaku udah masam waktu lagi pakai helm biru punyaku sendiri.

Candra udah stand by di atas vespanya sambil membenarkan tali helm di bawah dagunya seperti biasa. "Ternyata harus cepet. Pak Bima bakal pergi jam sepuluh nanti. Kalau lo datengnya mepet, waktu konsultasi lo nggak bisa lama. Ayo naik buru."

Aku menurut. Tapi ternyata, boncengan vespa Candra ini memang sempit sekali. Mana ada kantung lain di belakang boncengannya yang nggak tahu isinya apa. Namun sebisa mungkin, aku menahan diri untuk nggak pegangan dan biarin kedua telapak tanganku ada di atas pahaku sendiri.

"Malesin banget kalau dapet dosen macam Pak Bima." Aku nggak tahan untuk menggerutu. Vespa yang dikendarai sama Candra melaju dengan tempo yang cepat tapi santai. Bikin dia dengan mudah menangkap suaraku. "Udah kayak main kucing-kucingan. Setiap disamperin, pasti doi langsung lari kayak lihat setan. Padahal kan, udah tugasnya juga ya ngebimbing muridnya buat skripsian."

"Untung gue nggak dapet dosen macam itu." Candra menjawab. Aku bisa menangkap nada geli dari nada suaranya.

"Jadi lo bakal positif bisa lulus tahun ini?"

"Bisa." Aku iri banget sama jawabannya yang percaya diri. Dia jelas anak seni. Dosen-dosen di fakultas itu juga kelihatannya santai dan nggak kaku-kaku kayak dosen di fakultas lain. Pasti lah untuk masalah skripsi, anak seni pada dapat dosen yang enak-enak buat diajak konsultasi dan diskusi.

"Petra." Suara Candra manggil namaku lagi. Aku jawab dengan gumaman malas. "Lo bisa nyanyi, kan?"

"Tau dari mana?" Seketika aku langsung ngegas. Seumur hidup, aku jarang banget nunjukin suaraku ke sembarang orang. Cuma di saat-saat tertentu aja aku akan nyanyi. Meskipun beberapa orang bilang kalau suaraku itu bagus, aku masih nggak percaya diri. Karena nyanyi bukan hobiku. Aku juga cuma punya beberapa lagu yang aku hapalkan. Jadi, kenapa Candra bisa sampai tahu?

"Dari youtubenya Moreno. Lo nggak tau?" Dia malah balik tanya.

Mas Moreno? Aku sama sekali nggak pernah melihatnya. Dan kayaknya juga, aku sama sekali nggak pernah nyanyi di depan kakak tingkatku yang super duper ganteng itu.

"Ngomong-ngomong, Ra ..., Suara lo bagus."

Pujian itu aku dengar dari Candra pas aku lagi mengingat-ingat dan menerka-nerka kira-kira videoku yang mana yang dikirim sama Mas Moreno ke akun youtubenya.

***

Yang penasaran sama figur art anime di kamarnya Petra itu gmn, ini contohnya, yaa. Soalnya di bab-bab berikutnya, para figur art Sakura ini bakal punya andil besar juga, bisa tebak apa? Hihihi.

Jangan lupa tinggalkan jejak, oke?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Jangan lupa tinggalkan jejak, oke?

Vidia,
29 Mei 2023.

My Beloved BoyfriendWhere stories live. Discover now