Musim gugur, Festival Olahraga
Ini adalah tahun pertama bagi Zoe Sachi William berada di SMA Internasional Kanto. Mungkin namanya akan terdengar aneh bagi telinga orang Jepang. Selain namanya yang tidak mencerminkan nama Asia, kesan Asia juga tidak sepenuhnya melekat pada wajahnya. Darah Asia dan Amerika mengalir pada dirinya.
Rambut coklat dan mata berwarna amber akan membuat orang Jepang yang ditemuinya mengamati dalam waktu yang lama diimbuhi tatapan heran sebelum benar-benar puas dan berpaling ke arah lain.
Sudah bukan hal yang asing baginya. Tapi tetap saja Sachi tidak akan pernah menjadi terbiasa. Dan ia tidak akan pernah nyaman dipandangi orang asing dengan tatapan aneh. Secara tidak langsung ketika mendapatkan tatapan seperti itu, pikirannya akan melayang dan bercabang, berusaha membaca apa yang ada di kepala mereka, dan itu melelahkan. Sangat melelahkan, sampai-sampai ia ingin mengecat rambutnya menjadi warna hitam, atau memakai softlens sepanjang waktu agar terlihat sama dengan mereka.
"Sachi-chan, ayo kita pergi ke lapangan. Semua sudah berkumpul di sana," panggil Etsuko Kana, yang merupakan sahabat baiknya sekaligus siswa terpintar di kelasnya, kelas B.
Sachi memutar kepalanya ke sumber suara. Dan matanya mendarat pada Kana yang sudah berada di bingkai pintu.
"Benarkah sudah dimulai? Aku malas menunggu di sana," jawab Sachi dan ia masih duduk di bangkunya meskipun pakaian olahraga telah melekat pada tubuhnya. "Lebih baik aku menunggu di kelas."
Kana menggelengkan kepalanya. "Sudah dimulai, sebentar lagi lomba lari seratus meter akan dilaksanakan."
"Oh, benarkah?" sahutnya bersamaan menegakkan tubuhnya secepat kilat.
"Ayo cepat, kita harus mendukung kelas kita."
"Ok, Kana-chan," sergah Sachi sebelum mereka berlarian keluar dari kelas menuju ke lapangan.
Saat itu sebelum menuruni tangga, entah apa yang ada di pikiran Sachi. Dan entah apa yang menghalau fokus matanya. Tiba-tiba saja telinganya mendengar teriakan Kana sedetik sebelum tubuhnya menubruk sesuatu di tengah-tengah anak tangga. Tapi semuanya telah terlambat, teriakan Kana tak mampu membekukan gerakan tubuhnya, tak juga sanggup menghentikan waktu.
Yang ia rasakan hanya benturan keras secara bertubi-tubi. Lalu tubuhnya terhenti pada lantai dasar setelah mendapatkan benturan yang sama untuk terakhir kalinya. Sachi mengerang di tengah-tengah terpejamnya kelopak mata, kepalanya terasa berputar-putar, pandangannya buram, telinganya berdengung, rasa sakit membanjiri tiap jengkal tubuhnya.
Entah bagaimana ia sanggup mengendalikan dirinya dalam rasa sakit yang tak tertahan, sanggup bangun dan menopang tubuhnya menggunakan kedua tangan merupakan prestasi besar di antara syaraf di sekujur tubuh yang nyaris mati rasa.
Ketika fokus mata berhasil diraih, manik matanya mendarat pada seorang anak laki-laki yang terduduk sama seperti dirinya. Kedua tangannya memegangi sebelah kakinya, erangan kesakitan dan lirih pun terlepas dari mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Light Start at 18yo ✔️
RomanceGadis itu berbeda, dia penuh semangat, bersinar, dan mencuri perhatiannya. Tapi ternyata takdir berkata lain. Sesuatu yang tidak logis bagi otak pintarnya membuat Ryuichi Hiro dan Zoe Sachi bersaudara. Tapi, saat tinggal dalam satu rumah dan menja...