PART 26 - BUNCH OF BULLIES

81 43 121
                                    

Musim Semi beberapa bulan kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Musim Semi beberapa bulan kemudian.

Setiap momen merupakan kepingan berharga dalam hidup, sebuah kenangan yang tak tergantikan. Namun, bagaimana jika ia kehilangan satu kepingan momen terpenting dalam hidupnya?

Mungkin tanpa dirinya sadari, kehampaan dan kekosongan akan merenggut dirinya secara utuh. Alam bawah sadarnya berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan memori yang terbang entah ke mana, walaupun tak semudah itu dapat kembali terekat sempurna.

Bergulirnya waktu dalam kecepatan yang di luar jangkauan membuatnya kebingungan. Hari demi hari bergerak tanpa henti, hingga minggu demi minggu, bahkan sebelum sempat pecahan memori itu kembali tersusun, musim dingin telah menggantikan musim panas. Lantas musim semi meninggalkan musim dingin. Musim semi di akhir masa SMA-nya.

Adakah yang menyenangkan dari lupa ingatan?

Seringkali seluruh dirinya merasa tersesat sendirian, tak tahu harus mengambil langkah ke arah mana. Walaupun, hakikatnya ia tak pernah benar-benar sendiri. Ada Ibunya, Ayah tirinya, Ayah kandungnya, Sotha, Hiro, Akira, maupun Kana—orang-orang terdekatnya yang siap siaga memberikan uluran demi membebaskan dari ketersesatannya.

Namun, meskipun segudang petunjuk tengah meraka paparkan secara gamblang, seperti yang dilakukan Hiro secara terus-menerus padanya, tetap saja benak dan kepalanya tak mampu meyakini apa yang benar-benar ingin ia lakukan.

Mengamati tindakan-tindakan Hiro yang mendesaknya jauh lebih besar, bahkan melebihi saudara kandungnya sendiri, keheranan pun mengambil peran tersendiri.

Demi apa pun, mengapa laki-laki itu selalu memberinya umpan mengenai betapa pentingnya ia untuk tidak melupakan impiannya yang pernah terpatri lekat pada tiap pergerakan dalam mewujudkannya.

Rasanya cukup sulit baginya untuk menemukan alasan terbesar di balik mengapa ia ingin menekuni seni kuliner, dan mengapa ambisi besar menguasainya demi profesi itu. Sedangkan keraguannya butuh diyakinkan, yang nyatanya cukup menyulitkan mengingat hanya ia yang tahu alasan itu.

Cukup asing baginya untuk menyentuh peralatan dapur selain hanya untuk menggunakan pisau untuk sekadar mengupas semangka, apel, atau hal remeh lainnya yang tak membutuhkan bakat tertentu.

Coretan-coretan penuh ambisi yang pernah jarinya torehkan di dinding kamarnya pun tak lagi memiliki nyawa baginya. Tak lagi membangkitkan binar berapi-api dilingkupi semangat.

Di tengah-tengah itu, saudara tirinya yang keras kepala enggan berputus asa, walaupun ribuan kali ia menolak.  Kata-kata yang terlepas dari bibir laki-laki itu sampai melekat hingga titik terdalam pada otaknya yang cedera.

Ia pun juga bosan setengah mati menegaskan kata-kata seperti, “Aku sudah muak mendengarkan desakanmu tentang kembali menekuni seni kuliner. Jadi menyerahlah sekarang juga!”

Tapi di samping itu ada benak yang kokoh demi tetap berdiri menyuarakan pendapatnya, “Aku tidak akan menyerah,” jawab Hiro didorong keyakinan penuh. Entah mengapa setiap rentetan kata itu terlontar, pandangan iba selalu mengiringi.

The Light Start at 18yo ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang