27 - Patahan Jadi Serpihan

99 19 0
                                    

BYEFRIEND BY HAZNA NUR AZIZAH

Instagram : @hsnrzz_ & @hf.creations

****

Status Saya

dulu cuma patahan

sekarang jadi serpihan

Yona sadar, patah hati adalah hal paling menyebalkan yang jika boleh meminta, Yona tidak akan ingin merasakannya lagi. Sebotol air mineral, sekotak susu rasa vanila, beserta sebuah donat sudah bermigrasi ke dalam perut Yona. Meski hambar dan tidak berselera, Yona harus menghabiskan ketiga makanan dan minuman yang ia dapatkan dari kantin untuk tetap menjaga kewarasannya.

Kedua telinganya disumpal earphone yang tersambung dengan handphone-nya. Sebuah lagu terputar dengan volume nyaris penuh. Peduli setan dibilang tuli oleh orang-orang yang memanggilnya, tapi tidak dia tanggapi. Yona sedang mencoba menghibur dirinya sendiri, juga mencoba kembali menyatukan serpihan hatinya yang jatuh berserakan.

"Muka lo nggak cocok galau-mellow begini, Yona. Berhenti mikirin Leon. Dia sudah menemukan kembali belahan hatinya."

Yona menoleh ke arah kanan. Seolah-olah wujud dari isi hatinya berdiri di sana, berbicara kepadanya.

"Move on. Cowok nggak cuma dia. Sagara mungkin bisa jadi opsi yang tepat untuk lo."

"Kenapa jadi Sagara?" pekik Yona. Membuat seisi kantin memusatkan perhatian kepadanya. Cewek itu menutup mulutnya rapat-rapat. Merasa menjadi seorang kriminal yang hendak diamuk massa. Menunduk untuk mengusir rasa malu yang mulai merayap, pura-pura berbicara dengan seseorang di balik telepon agar tidak dikira orang gila atau indigo yang bisa berbicara dengan makhluk astral.

Yona memaki diri dalam hati. Kenapa juga dia berdebat dengan isi hatinya sendiri.

"Jangan Sagara. Dia jelas nggak suka gue, begitu juga sebaliknya," ujar isi kepala Yona, mencoba melobi isi hatinya.

"Bohong. Kalau lo nggak suka Sagara, kenapa galau, gundah, gulana waktu dia mendiamkan lo? Peka sedikit, Yona. Yang bikin lo nyaris gila begini itu sebenarnya kabar jadiannya Leon atau diamnya Sagara?"

Sial! Logika Yona dikalahkan oleh isi hatinya. Sekarang, kewarasannya diuji. Isi hati mungkin benar, tapi Yona enggan mengakui kalau lebih dari setengah alasan di balik patah hatinya adalah masalahnya dengan Sagara.

"Diem, hati. Gue mohon sama lo, diem aja di tempat. Gue nggak butuh nasihat kacangan lo karena lo adalah gue. Kita ini sama, sama-sama lagi nggak waras." Setelah membungkam kata hatinya dengan logika, Yona beranjak kasar sampai kursi yang ia duduki nyaris terpental.

Hal itu lagi-lagi membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.

"Yona lagi kenapa? Sumbar begitu dari tadi. Cerita dong, jangan dipendem sendiri. Nanti malah jadi penyakit hati," tanya Bu Kantin ketika Yona menyerahkan selembar uang pecahan dua puluh ribu untuk membayar jajanan yang ia beli.

"Nggak papa, Bu. Lagi banyak kerjaan aja makanya gila."

"Hush, jangan ngomong sembarangan. Nanti malaikat lewat mengaminkan, bagaimana? Mau gila beneran kamu?"

Yona menggeleng sebagai respons. Setelah menerima kembalian, cewek berwajah mendung itu kembali ke halaman belakang. Enggan kembali ke kelasnya.

^^^

Meski membolos sepanjang pelajaran, Yona tetap mendatangi ruang OSIS untuk kumpul rutinan. Seperti dugaannya, begitu masuk, teman-temannya langsung membombardir Yona dengan pertanyaan. Seperti bagaimana perasaannya saat tau mantannya sudah kembali berpacaran, seberapa patah hatinya Yona ditinggal mantan, ditanya kapan nyusul, sampai pertanyaan mengenai Sagara yang belum juga kelihatan batang hidungnya. Tidak mau membung waktu dan tenaga untuk menjawab satu per saru pertanyaan itu, Yona memilih abai.

Cewek itu memilih bangku yang letaknya di barisan paling belakang. Saat akan membenamkan wajahnya di atas lipatan tangan, seseorang mencolek bahunya.

"Apaan?" sewotnya. Matanya menyorot penuh permusuhan kepada Rendy, si pelaku.

"Ya elah, sewot amat, Bu. Gue mau narik kas ini, bukan mau nanya macem-macem." Rendy memamerkan buku kasnya di depan muka Yona supaya gadis itu percaya. "Sorry to say, tapi gue emang beneran nggak berminat sama kisah cinta lo yang menyedihkan." Rendy mendaratkan pantatnya di kursi sebelah Yona. Mulai menuliskan nominal uang yang disetor teman-temannya, kemudian menghitung jumlah uang di genggamannya.

Yona mendengkus sebal. Dia mengakui Rendy itu tampan nan rupawan, tapi ketampanan tidak ada artinya jika tidak diimbangi dengan tata krama. Yona bisa saja naksir Rendy, tapi kata-katanya yang kadang nyelekit membuat Yona tidak tertarik sama sekali. Sudah cukup dia makan hati menghadapi kata-kata pedas kakak dan adiknya, kalau ditambah Rendy juga, perutnya bisa mulas!

"Nih, dua ribu, kan?" Yona menyodorkan uang dua ribuan lecek yang ia ambil dari dalam saku.

Rendy mencebikkan bibirnya. "Dua ribu doang? Lo nggak setor dari tanggal tiga, kocak! Lunasin, nggak?"

Kan, perkara uang kas saja bisa menyulut emosi Rendy.

"Bokek gue. Duitnya abis buat jajan."

"Jadi, jajan lebih penting dari membayar kas? Hah?"

"Rendy ... lo tau gue lagi patah hati?" Pada akhirnya, meski malas mengakui, Yona menjadikan patah hati sebagai pembelaan di depan bendahara OSIS superpelitnya.

Rendy meloloskan decihan. "Apa hubungannya patah hati sama duit? Emang hati lo bisa sembuh cuma diobati pakai duit? Cari pacar sana!"

Kalau bukan seorang cowok, mungkin Yona sudah menjambak rambut Rendy yang sudah kepanjangan.

Sepeninggalan Rendy, Yona kembali meletakkan kepalanya di atas meja, tapi tidak berlangsung lama. Sama seperti Rendy, Ratih datang beserta setumpuk kertas di tangannya.

"Apalagi, Ya Gusti ... gue mau tidur!" Yona mengacak rambutnya frustrasi.

"Enak aja tidur! Tanda tangan surat, nih." Ratih menimpuk kepala Yona dengan setumpuk kertas di tangannya. Cewek bertubuh gempal itu duduk di kursi yang belum lama Rendy tinggalkan. Bibirnya ditekuk. "Kata Sagara bagian tanda tangan diisi nama lo aja soalnya dia nggak ikut kumpul sekarang. Tanggung jawab, nih, ditandatangani semua!"

"Sumpah lo? Sagara nggak ikut kumpul dan nyerahin tugas ini ke gue?" tanya Yona tidak percaya. Matanya sampai nyaris keluar saking kagetnya.

"Kan, lo wakilnya. Gimana, sih?"

"Tapi gue lagi patah hati, Ratih ... lo tega?" Yona kembali memasang wajah melas, berharap Ratih membiarkannya tidur di atas kursi. Namun, Ratih bukan sosok ibu peri, perangainya lebih mirip seperti ibu tiri.

"Apa urusannya sama gue, Yona? Patah hati urusan personal, yang ini profesional!" Bukannya menaruh iba, Ratih malah menasehati.

"Resek lo!"

"Bapak lo yang resek!" Ratih menyamankan posisi duduknya ketika Yona mulai membubuhkan tanda tangan pada bagian bawah surat yang baru saja dicetak. Punggungnya menyandar dengan santai. "BTW ... lo tau kenapa Sagara absen?" tanyanya kemudian.

"Mana gue tau? Kan, Sagara bukan bapak gue!" balas Yona.

"Ya, kali aja tau. Kan, kalian soulmate. Ke mana-mana bareng, di mana-mana nempel."

"Sembarangan!" Ujung pulpen Yona mendarat di dahi Ratih yang asal bicara. "Lo kan, tau belakangan hubungan gue sama dia kayak gimana?"

"Kayak Dora sama monyetnya."

"Ketombe!"

Kemudian, Ratih tertawa.

"Udah, deh. Nih, kerjain tugas lo. Kalau udah kelar kita balik. Jangan lupa lo cek keberadaan Sagara, ya. Selain absen, handphone dia juga nggak aktif."

Mendengar nama Sagara berulang kali disebut, membuat kecemasan menguasai Yona. Sejak pagi dirinya sudah sibuk meratapi nasib kejomloannya, Yona tidak sempat mengecek keadaan Sagara yang memang sedang tidak akur dengannya.

Sekarang, dia harus apa?

BYEFRIENDUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum