Mahesa dan Seno

326 48 87
                                    

Tidurnya terganggu karena sinar matahari yang memasuki kamarnya. Ia menggeliat tak nyaman. Tidak lama kemudian, ia merasakan seseorang mengguncang pelan tubuhnya.

"adek, bangun"

Ia mengenal suara ini.

Abangnya, Mahesa. Mata indahnya langsung terbuka dan mendapati abangnya dengan seragam sekolah terpasang apik ditubuhnya.

"Selamat pagi, adek. Mimpi indah?"

Ia tersenyum manis membalas, lalu kemudian merentangkan tangannya—minta dipeluk. Mahesa langsung memeluk erat si kecil kesayangannya, tak lupa memberikan kecupan pada dahi dan kedua pipi chubby milik adiknya.

"Mandi dulu ya? Trus turun, sarapan. Abang mau berangkat sekolah dulu"

Ia—Seno menggeleng. Tangannya menahan pergerakan yang paling tua.

"Adek kenapa, hm? Abang mau sekolah, nanti abang telat loh?"

"Jangan lama lama"

Setelah agak lama terdiam, tangan putih bersihnya mulai bergerak teratur dan Mahesa mengerti apa yang Seno sampaikan.

"Abang gak lama. Janji, seperti biasa. Jam 2 abang pulang" Mahesa mengulurkan jari kelingkingnya yang disambut ragu kelingking Seno.

Mahesa mengusak gemas rambut halus Seno.

"Abang berangkat dulu ya" Seno mengangguk, tangannya terus melambai sampai Mahesa menghilang dari daun pintu kamarnya.

"Selamat pagi, Dunia"

Seno sudah selesai mandi, kini ia berada dimeja makan sedang sarapan sendiri. Biasanya, ada Bunda dan Abangnya Mahesa. Namun, karena ia tadi telat bangun, alhasil ia sarapan sendiri karena Bunda sudah pergi ke kantor dan Mahesa pergi sekolah.

Seno sendiri?

Setelah sarapan ia hanya akan diam dikamarnya, tidak tau ingin berbuat apa. Usianya sudah cukup untuk masuk sekolah dasar kelas 4, namun sedari kecil ia memang tidak mendapatkan itu. Bunda tidak mengizinkan Seno untuk bersekolah, katanya

"Anak seperti Seno yang tidak mampu berbicara tidak layak untuk mendapat pengajaran dari sekolah, toh dia gak bisa mengutarakannya"

Pernah sekali Mahesa marah akan hal itu. Tapi yang namanya Bunda, ia tidak akan bisa Mahesa tentang, keputusan Bundanya sudah bulat untuk tidak akan menyekolahkan Seno seumur hidup Seno.

Mahesa sebagai abang Seno, selalu kasihan melihat adiknya itu. Sehingga, sesekali akan mengajari adiknya untuk mengenal huruf, membaca, berhitung dan lainnya tanpa sepengetahuan Bunda.

"Seno, sedang apa?"

Seno menoleh kearah suara, itu Bi Rima—asisten rumah tangga keluarganya. Wanita paruh baya itu menghampiri Seno yang hanya diam dengan tatapan kosong di ruang tamu.

"Seno sedang bermain" tangannya bergerak lihai sembari senyum terpasang pada wajahnya.

Bi Rima yang sudah lama bekerja pada keluarga Mahesa pun turut mengerti bahasa isyarat.

"Bermain apa? Padahal Seno sedari tadi hanya diam?"

Telunjuk Seno mengarah pada dahinya. Senyum polos terpasang diwajahnya.

"Bermain disini! Seno, senang"

Bi Rima menatap iba Seno yang sedang tersenyum manis padanya. Anak itu benar benar tidak tau apa apa, karena sang nyonya besar tidak mengizinkan untuk anak itu tau. Untuk memberikan televisi agar Seno tidak kesepian saja, ia tidak mau. Sedari kecil Seno hanya mengenal apa yang ada didalam rumah yang pernah ia pakai, Bunda, Mahesa dan Bi Rima.

Melihat dunia luarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang