Prolog

614 51 63
                                    

Sebagai editor di sebuah penerbitan semi-mayor Ibu Kota, Irvyna kerap kali menerima sejumlah naskah untuk ia edit sesuai job desc-nya. Namun, sejauh ini belum ada cerita yang benar-benar melekat di hatinya.

Bukan berarti yang sudah-sudah itu tidak bagus. Hey, untuk orang-orang yang mampu mendeskripsikan suatu kejadian di lapangan lalu mengubahnya ke dalam rangkaian kata-kata dan bisa divisualisasikan saja, menunjukkan kalau penulis itu hebat. Vyna selalu mengapresiasi para penulis.

Namun, sekali lagi, bagi Vyna pribadi dia ingin setidaknya—sebelum mencapai usia pensiun—berhasil menemukan satu karya dari penulis medioker yang betulan bisa mengubah dunia. Baiklah, dua kata terakhir mungkin terdengar berlebihan tapi kalian tahu maksudnya 'kan?

Kita semua setuju kalau romance adalah genre 'curang' yang pasti selalu ramai pasarnya. Mencari sesuatu yang beda, Vyna bertekat menemukan respon sejenis dengan genre yang lebih realistis namun tetap menarik banyak minat pembaca, bila perlu dari semua kalangan.

"Jadi, kira-kira lo ada recommendation nggak yang sesuai sama kriteria gue?" tanyanya sembari menjepit ponsel di pundak dan rungu kanan selagi menyandar ke kursi kantor.

Menunggu Bening, junior kenalan jaman kuliah terpercayanya—sekaligus sumber informan terkait rekomendasi cerita baru—menjawab. Bening dan Vyna tidak satu jurusan tapi mereka pernah satu komunitas fangirl Band Wali, dulu. Sekarang Vyna sudah tidak punya waktu untuk itu. Sad part of adulting.

"Yang enggak romance kan? Kebeneran lagi ada nih. Belum tamat sih, padahal ceritanya udah lama diposting."

"Serius?" Bersemangat, dia langsung menegakkan badan. Refleks menggapai tetikus lalu menggulir halaman di layar komputer, "author-nya siapa? Judul? Dari platform mana?"

"Hm platformnya tuh... blog."

Gerakan tangan Vyna terhenti seketika. Gadis itu menyipit pada sang ponsel, seolah meragukan pendengarannya sendiri, "Jaman sekarang masih ada yang main blog?"

"Yaa ada nih buktinya. Jangan langsung diskriminasi platform gitu deh," sangsi Bening, "Nih gue kirim aja ya link blog nya. Baca dulu. Gue yakin ini cerita tipe lo banget sih, Kak. FYI authornya ini kating gue dulu, sekarang dia udah lulus dan TMI gue ngefans banget sama dia hehehe."

"Ckck, lo dan obsesi idola-idolaan lo itu ya. Kapan mau tobatnya sih?"

"Dih emang jadi fangirl dosa apa? Dari pada gue judi online?"

"Dadah, Bening. Makasih ya rekomendasinya. Ntar kalau yang ini oke, gue traktir jajan."

Segera saja Vyna mematikan sambungan telepon secara sepihak. Sedikit terkekeh dia mengingat suara protesan Bening yang masih mengisi di detik terakhir karena ucapannya tidak digubris.

Gadis itu beralih mengklik link dari whatsapp web-nya. Tak tunggu lama sebuah halaman blog termuat di sana. Dia pun membaca postingan dari blog milik user limuntea itu. Kebetulan memang hanya ada satu postingan yang ramai oleh likes dan komentar berjudul 'Traffic Light'.

"Nama author-nya limuntea? Cewek kali ya?"

Perkara ia lupa bertanya ke Bening si author itu cewek atau cowok, tapi rasanya juga malas jika harus menelepon ulang. Toh sekian menit membaca tulisan di sana Vyna bisa menyimpulkan kalau pemilik blog ini sudah pasti cewek.

Surprisingly ceritanya menarik. Diksi yang dipakai umum tapi setiap scene ditulis dengan baik hingga bisa relate dengan kehidupan sehari-hari. Sang author menganalogikan lampu lalu lintas sebagai proses-proses di tengah kebimbangan hidup. Merah untuk berhenti, Kuning untuk berhati-hati, dan Hijau untuk berjalan kembali. Dimana katanya, pada setiap menit-menit pergantian lampu itu, selalu ada momen yang bisa saja terjadi.

Dissonance: Traffic LightWhere stories live. Discover now