[viii] Mengubah Kebiasaan

95 21 45
                                    

Halim tahu Vyna sepertinya punya masalah dengan tidur malam. Tapi biasanya Vyna selalu berhasil menutupi efek dari insomnia di parasnya itu dengan sentuhan make up tipis juga kepribadian yang murah senyum. Kecuali, mungkin tidak untuk hari ini.

Posisi duduk mereka kebetulan memang bersebelahan, bukan hadap-hadapan, agar memudahkan Halim menunjuk naskah yang sudah ia ketik di laptopnya. Alasan lainnya juga lantaran ini bukan di Bean and Bindings melainkan kafe lain di daerah selatan kota yang tempat duduknya di desain per satu sofa panjang mengarah ke taman air mancur.

Sebab itulah pemandangan Vyna dengan lingkaran hitam dibawah mata bak panda serta kelopak atasnya yang beberapa kali hendak tertutup itu bisa Halim lihat dengan jelas dan lumayan menjadi distraksi konstan baginya sepanjang sesi diskusi hari ini.

"Kamu nggak apa-apa?" Adalah pertanyaan yang coba Halim redam awalnya. Sungkan jika Vyna tak suka ia membawa bahasan 'ini' lagi.

Terbukti gadis itu sontak kembali menjawab dengan anggukan normal, seolah tidak ada masalah, "Ya, I'm good. Emang kenapa?"

"Kamu keliatan capek banget. Tadi malem nggak tidur lagi ya?"

"Kok tauu??" Pupil Vyna membulat berlebihan. Seakan baru pertama mendengar Halim menerka sesuatu tentangnya dan betul.

"Told you. I can read people's faces," Pemuda itu mengangkat telunjuknya di depan dahi Vyna lalu digerakkan membentuk huruf-huruf tertentu, "Di muka kamu sekarang nih ada tulisan 'CAPEK' segede gaban, gitu."

Otomatis gadis itu langsung menghalau tangannya sambil berdecih singkat, "Not that segede gaban, ya, Pak."

"Tapi bener kan?"

"Hm, dua hari ini aku belum tidur malem sih sebenernya. But all fine kok. Sekarang aku udah baik-baik aja hehe. Oh ya tadi kamu mau bahas scene di chapter ini kan? Setelah aku baca, kayaknya alur disini oke aja deh, nggak abrupt lah karena situasi mereka kan sama-sama lagi kosong nih, terus...."

bla bla bla bla

Intinya pengalihan yang sempurna. Berkat itu pembahasan mereka secara instan kembali pada novel lagi untuk sementara. Karena, sekeras apapun Vyna berusaha memfokuskan diri dalam diskusi. Ujung-ujungnya dia tetap 'kalah' juga. Salahkan terik matahari yang tak terlalu menyengat serta embusan angin sepoi-sepoi, hari itu.

Yang Vyna tak tahu, Halim sudah bersiap akan kejadian ini. Maka tepat saat tiba-tiba ada sesuatu yang berat menimpa pundaknya, Halim tidak begitu kaget. Walau hal itu sempat membuat dia menghentikan kalimat yang sedang terlontar di udara.

"Tapi kalau buat scene pertemuan Liam sama female lead-nya, apa nggak terlalu biasa ya di sini? Jujur, aku agak kurang oke sih sama scene ini. Pengennya ngegambarin pertemuan yang berkesan gitu. Cuma nggak kepikiran idenya mau gimana. Menurut kamu—"

Di situ. Dimana narasi Halim seketika terpotong berkat kepala Vyna yang sudah jatuh di atas bahunya. Halim refleks melirik singkat. Mengerjap sekilas, lalu sebelah tangannya naik sembari melambai beberapa kali di depan wajah Vyna.

"Vyn? Kamu tidur?"

Sebagai jawaban, Halim bisa mendengar suara dengkuran halus Vyna menguar. Ia tampak sangat lelap. Siapa yang tega membangunkannya kalau begini?

Jadi, Halim pun memilih membiarkan gadis itu tidur di sana. Dia juga memperbaiki posisi kepala Vyna agar bisa menyandar dengan nyaman di pundaknya. Setelah itu ia kembali menjangkau laptop. Berniat mau lanjut menulis lagi.

Sampai tahu-tahu, gantian lengan kiri Halim yang kini disabotase oleh oknum di sebelah. Masih dengan mata terpejam, Vyna terlihat memeluk erat lengan si pemuda. Seakan itu adalah guling kesayangannya. Halim juga sudah mencoba melepaskan diri tapi percuma. Sekarang Vyna malah semakin menempel padanya.

Dissonance: Traffic LightWhere stories live. Discover now