[1] Surat Perizinan

451 40 3
                                    

Di tengah kerumunan bagaikan semut yang berhamburan keluar dari sarang karena mencium aroma gula di sekitarnya, ada salah satu manusia yang tubuhnya dipenuhi dengan hormon serotonin. Tidak ada hentinya ia tersenyum dan melihat kertas yang ia bawa. Salah satu temannya menyuruhnya untuk melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas agar tidak terbang atau rusak, tetapi manusia dengan mata sehijau zamrud itu menggeleng sembari sesekali memeluk benda tipis yang ia pegang.

Gerbang sekolah adalah tujuannya saat ini, ia harus menanti seseorang yang selalu menjemputnya pulang untuk beristirahat dari lelahnya menuntut ilmu, tetapi hari ini ia merasa tidak lelah sama sekali. Rasanya ia ingin berteriak dan menceritakan kepada semua makhluk di dunia ini jika ia sangat senang. Tolong ingatkan dirinya jika masih banyak orang di sekitarnya.

Kini, ia tepat di depan gapura yang berukuran dua puluh kali lipat dari tinggi badannya dan di atas sana terdapat nama instansi pendidikan. Banyak sekali kendaraan roda empat hingga roda dua yang membuatnya tidak mendapati seseorang ia cari. Sepertinya mentari siang ini juga memiliki perasaan yang sama dengan dirinya hingga sinarnya sedikit menyakiti penglihatan dan membuat mata hijaunya hampir tidak terlihat. Ia tidak boleh berdiam di tempat alhasil kedua kakinya mengajaknya berjalan untuk mencari insan yang ia cari.

"Duri!"

Suara itu terdengar tidak asing di telinganya. Netranya mencari manusia yang memanggilnya dan lima detik kemudian, mulutnya terbuka lalu berteriak, "Kak Taufan!" nadanya terdengar sangat ceria sembari berlari agar segera bisa menghampiri pemuda yang barusan ia panggil.

Anak adam bernama Taufan dengan mata sebiru safir memperlihatkan senyuman yang hangat saat Duri menghampirinya. Dengan alat pelindung kepala berwarna biru, ia sengaja tidak turun dari automotif roda dua kesayangannya —sejujurnya ia terlalu malas. Ah, ia juga memakai jaket kulit dan kacamata hitam agar sinar sang surya tidak menyentuh tubuhnya.

"Halo, Kak Taufan, hehe," sapa Duri kepada kakaknya dengan mata yang berbinar. Taufan yang melihat itu merasa heran dengan sang adik. Ia tahu Duri memiliki pupil mata yang berbeda di banding dirinya dan yang lain, tetapi kali ini tidak seperti biasanya.

"Ada apa dengan Duri hari ini? Kakak lihat sepertinya senang sekali," Taufan memulai pertanyaan karena ia sangat penasaran. Kedua tangannya sibuk memakaikan helm untuk Duri.

"Sebulan lagi, sekolah mengadakan study tour, kak!" Duri menunjukkan benda tipis berwarna putih yang sedari tadi ia pegang. Taufan sedikit terkejut karena Duri menunjukkan kertas itu hampir di depan mukanya secara tiba-tiba, tetapi tangan kanannya mengambil benda itu.

Taufan membaca dari isi kertas yang diberikan Duri dengan seksama, "kalau begitu pasti seru," kemudian ia melipatnya dan memasukkan ke tas milik Duri.

"Duri pasti ikut kan, kak? Duri sudah tidak sabar."

Suara lembut sang adik membuat Taufan tersenyum hangat sembari menyalakan mesin motornya yang menandakan ia siap melanjutkan perjalanan untuk pulang, "nanti kita bicarakan dengan Kak Hali dan Kak Gempa. Sekarang Duri harus naik dahulu agar kita cepat sampai rumah."

Duri mengangguk antusias, "oke, kakak!"

Dengan arahan Taufan, Duri menaiki motor milik kakaknya itu. Empat detik kemudian, Taufan menarik gas motornya dengan Duri di belakangnya sebagai penumpang.

Selama perjalanan, Duri tersenyum dan tertawa kecil sekali-kali. Dari dalam lubuk hatinya, ia sangat berharap mendapatkan lampu hijau agar ia bisa merasakan momen yang tidak pernah ia rasakan. Ia ingin menyuruh Taufan agar bisa mempercepat laju kendaraannya agar bisa sampai rumah dengan cepat, tetapi ia mengurungkan niat itu karena Taufan pasti menolak.

###

"Nah, sudah sampai," Taufan mematikan gas motornya ketika sudah sampai di kediaman mereka berdua. Duri yang sedari tadi di belakangnya sudah turun terlebih dahulu sebelum Taufan karena adiknya itu membukakan pagar agar keduanya bisa masuk.

When It HurtsWhere stories live. Discover now