27.

390 66 6
                                    

"Sorry, Mar... Tapi ini penting..." Ucap Avery dengan nada pelan.

"Lo gak apa-apa...?" Kini, Amicia yang mengeluarkan suaranya.

Lelaki itu langsung memasang raut heran. Bagaimana bisa gadis ini bertanya seperti itu sedangkan mereka saja tahu bahwa dirinya sedang patah hati.

"Bokap lo ditahan, ya?" Avery bertanya dengan hati-hati.

Amarnath memalingkan wajahnya. "Gue kira kalian khawatir bukan tentang itu."

"Mar... Kita juga khawatir tentang lo... Terserah nanti lo mau marah sama kita atau gimana. Tapi, gue beneran mau bahas soal ini dulu. Bener gak apa yang gue tanya barusan?"

"Kalo iya, kenapa?"

"Maaf, ya..."

Tatapannya beralih pada Amicia.

"Tapi, Om Marnad ditangkap juga ada sangkut pautnya sama abang gue."

Lelaki itu memasang raut bingung tanda tidak mengerti.

Tidak ingin ada orang lain yang mendengar percakapan mereka, Avery pun memaksa masuk lalu menutup pintu kamar itu.

"Kenapa, sih?" Amarnath nampak masih bingung.

"Mar, lo tau kan abang kayak gimana orangnya? Kita semua juga gak tau selama ini abang ngapain di luar sana sampe akhir-akhir ini keliatan lebih kacau. Intinya, ini ada hubungannya sama Om Marnad. Kayak yang kita tau juga sesuai curhatan lo dulu tentang Om Marnad ke kita, gimana kelakuannya, gimana kerjaannya, itu tu gak jauh beda sama abang."

"Bang Bagas jual beli miras, obat terlarang, judi, sama suka ngasih pinjaman uang juga?"

Amicia mengangguk. "Tapi, buat yang terakhir enggak. Abang yang minta pinjaman, bukan ngasih."

"Gimana caranya lo tau itu? Emang Bang Bagas mau ngasih tau lo? Dia orangnya aja kayak gitu."

"Tadi pas lo pulang dari rumah Avery, gue juga langsung pulang. Di rumah, gue denger Abang lagi telponan sama orang yang ngasih info tentang Om Marnad itu. Udah terlanjur denger, akhirnya gue tanya-tanya. Dan untungnya Abang mau jelasin."

"Dalam rangka apa Bang Bagas mau-mauan jelasin hal kayak gitu ke lo?"

Amicia menghela nafasnya, sedikit bingung harus menjelaskan dari mana dulu pada lelaki itu. "Bagian itu, gue jelasin entar aja. Intinya kemarin malem, Abang habis debat besar sama Om Marnad dan beberapa anggotanya. Abang sama temen-temennya saling lawan atau apalah gue gak ngerti. Sampe akhirnya, Abang malah dipukulin. Ya, mereka debat karena Abang gak sanggup bayar pinjaman itu. Terus kata Abang, tiba-tiba ada rombongan polisi dateng karena markas mereka ternyata udah ketauan. Abang sama beberapa temennya berhasil lari, tapi Om Marnad sama anggotanya enggak. Andai gue tau Abang berususan sama bokap lo dari dulu... mungkin gue bisa sedikit cegah... Gue minta maaf..." Gadis itu kini menunduk.

"Tapi kan itu bukan salah lo, Cia. Lagian gue gak peduli kalo bokap gue emang ditangkep, toh emang udah seharusnya kayak gitu. Bokap gue udah ngerugiin banyak orang. Biarin aja dia nerima hukumannya."

Amicia mengangguk. "Iya... Emang mereka pantes dihukum. Abang juga mau ngajuin diri ke polisi."

Avery membelalakkan matanya. Ia tidak tahu soal yang satu itu sebab Amicia tidak menceritakannya saat gadis itu menelepon dan memintanya untuk pergi ke rumah Amarnath. "Beneran???"

Lagi, ia mengangguk. "Sebenernya, Abang udah ngomong ini dari semalem. Tapi aku gak ngerti karena aku belum tau apa yang habis Abang lakuin."

"Terus, kalo Bang Bagas gak ada, kamu gimana???"

Three A's (3A)Where stories live. Discover now