Delapan : Berkecamuk

20 14 32
                                    

Hai selamat menikmati tulisan receh ini!

Tandai typo saat membaca, ya!

Thank you ❤

———

Happy reading..
.

"Kamu dari mana?"

Suara bentakan seseorang membuat langkah kaki gadis yang sedang mengendap-endap itu berhenti dengan debaran jantung yang tidak karuan.

"Ayah tanya kamu dari mana?" Pertanyaan ulang itu, nadanya semakin tinggi, rasanya atmosfer kian mencekam. Membuat Kia menjawab dengan perasaan takut.

"Organisasi seko ...

Plak!

"Jadi kamu tidak mau menuruti perintah Ayah, Kia!"

"Sudah Ayah katakan, tidak perlu mempedulikan sekolah kamu lagi!"

Belum sempat Kia menyelesaikan ucapan, sang ayah telah memotongnya dengan tamparan, dan menyerangnya dengan ucapan bertubi-tubi.

Kia terisak, sakit di pipi tidak mampu mengalahkan sakit di hati. Perasaan itu berkecamuk, hingga ia kembali terperanjak kaget.

"Dalipa, kemas pakaian sekolahnya dan bawa kemari!"

"Tapi—"

"Cukup!" Dalipa yang notabene adalah ibu Kia hanya mampu terdiam disaat sang suami sudah mengangkat tangan.

Tanpa membuang waktu menunggu sang istri yang hanya terdiam, pria paruh baya itu langsung masuk ke kamar Kia dan mengemas kasar pakaian putrinya itu. Kemudian keluar dengan keadaan marah, melempar pakaian itu ke tong sampah.

Kia ikut berlari keluar, melihat sang ayah yang hendak menyulut api ke tong sampah tersebut, dengan cepat Kia berusaha menghentikan.

"Jangan, Ayah!" Kia memohon dengan nada lirih.

"Lepas! Jika kamu tidak ingin Ayah murka." Sang Ayah menepis kasar putrinya itu.

Tapi Kia nekad, dirinya terpaksa melawan, ia meraih pakaian itu cepat meskipun tangan kekar sang ayah berusaha merebutnya secara kasar, Kia tidak peduli hukuman apa yang akan dia terima setelah ini.

.

"Kalian baik-baik saja?"

Dirta mengangguk menanggapi ucapan Nadir, setelah melihat pesan yang masuk ke ponselnya dari nomor asing, pria itu dengan cepat menuju gua mimpi, dengan bantuan pemandu jalan, Nadir dengan mudah menemukan keduanya.

Kini mereka sudah berada di luar gua, Yuli pun terlihat lebih tenang.

"Gimana, lo nembak dia nggak?" Nadir menggoda dengan suara pelan. Anggap saja berbisik!

"Apaan sih, Bang! Anak orang lagi ketakutan juga." Dirta menggeleng.

"Bisa aja 'kan? Kesempatan dalam kesempitan!"

"Gue masih waras!"

"Syukur lah, gue pikir lo salah satu orang nggak waras karna cinta." Nadir terkekeh sepertinya menjahili Dirta sekarang akan menjadi kebiasaannya.

The WidowWhere stories live. Discover now