Bab 8. Pertemuan dengan keluarga

29 6 0
                                    

"Sekeras apapun usahaku untuk melupakan moment itu, tetap saja semuanya masih utuh tersimpan rapi di memori. Bukan aku yang belum ikhlas, hanya saja bukankah manusiawi jika seseorang selalu mengingat kenangan terindah maupun terpahit dalam hidupnya?"

"Jangan ajarkan aku untuk tabah. Cukup lihat saja keadaanku saat ini. Ditinggal pergi setelah diberi janji, di bohongi setelah di iming-iming akan dinikahi."

"Dibutuhkan lebih dari sekadar tubuh yang indah. Anda harus memiliki hati dan jiwa juga."

"Penyembuhan terbaik dalam setiap luka adalah hanya dengan mencoba membuat pikiran tenang."

****
________

"Hah?" Ikrimah memberi respon dengan sedikit terkejut. Cukup singkat dan padat, namun sahutan refleks itu sempat membuat perempuan itu memicingkan matanya.

"Eh, m-maaf Teh, t-tapi ini kan di tempat umum," jawab Ikrimah. Suaranya menggambarkan bahwa Ikrimah benar-benar takut salah menjawab.

Raut wajah perempuan yang mengaku sedang mengidam itu seketika murung. Tatapannya menunduk seraya mengeratkan pegangan tangannya kepada lelaki yang berada di sampingnya.

"Emm.. S-saya minta maaf yang sebesar besarnya. Saya bisa mengizinkan hal itu namun tidak di tempat umum seperti ini, apa anda keberatan jika kita mencari tempat yang lebih privasi?" tanya Ikrimah dengan lembut. Kelembutan hatinya bahkan tergambar begitu jelas dari tutur katanya yang begitu sopan.

Perempuan itu tersenyum bahagia. Dengan spontan ia memeluk Ikrimah dengan erat.

"Kau baik sekali. Entah bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu," ungkap perempuan  yang masih memeluk erat Ikrimah.

Ikrimah tersenyum di balik cadarnya. Dia rasa tidak ada salahnya memenuhi keinginan perempuan itu meskipun Ikrimah yakin bahwa ia adalah isrri dari lelaki yang selama ini membohonginya.

"Terima kasih.. " Sambil melepaskan pelukannya perempuan itu tersenyum kepada Ikrimah.

"Sayang! Kamu kok diem mulu!" tegur perempuan itu kepada lelaki yang berada di sampingnya.

Ikrimah hanya bisa diam. Dia tidak mau mengetahui lebih dalam lagi tentang lelaki yang dipanggil dengan sebutan "Sayang" itu.

"Tidak apa-apa Istriku. Aku hanya bingung harus berkata apa. Intinya untuk kamu.." ujarnya sambil melihat Ikrimah.

"Terima kasih karena sudah mengizinkan istri saya untuk melihat wajahmu," sambung lelaki bernama Fauzan itu. Tidak ada ekpresi apapun saat ia mengatakannya. Matanya memandang mata Ikrimah tapi dengan begitu hampa.

Ikrimah mengangguk dengan canggung "Sama-sama," jawabnya.

"Dimana tempat yang tertutup ya? Maaf ya repotin kamu, oh iya nama kamu siapa?"

"Nama saya Ikrimah. Tidak usah sungkan Teh, saya juga paham dengan  hal seperti itu memang tidak bisa di perkirakan. Kalau nama Teteh siapa ya?"

Perempuan itu tersenyum "Panggil saja  saya Airin," jawabnya dengan singkat.

"Ah iya Airin," sahut Ikrimah dengan suara lembutnya.

****
Beberapa jam kemudian.
Di kediaman kyai Zubair.

Hari itu, ruangan keluarga kyai Zubair terlihat cukup seru. Di sana juga ada Zaid dan Amir. Keduanya terlihat duduk bersampingan dengan kyai Zubair.

Di depan kyai Zubair terlihat seorang lelaki yang sepertinya seusia dengannya. Lelaki itu berbincang ria dengan Kyai. Zaid hanya terdiam, sesekali dia membalas pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

Cinta Dalam Balutan TasbihWhere stories live. Discover now