Bab 19. Satu bulan yang singkat

40 4 0
                                    

Bunyi tangisan anak kecil terdengar nyaring di telinga. Terkadang rintihan perempuan ikut juga mengganggu pendengaran.

Ikrimah terdiam sembari memperhatikan layar handphonenya dengan seksama. Ia menyimak video yang ia putar dengan sungguh-sungguh.

"Apa yang kamu lihat Nak? Mengapa mereka menangis?" tanya ibu Maryam. Ibu Ikrimah saat itu berada di samping Ikrimah.

"Oh ini hanya film pendek Uma, kasihan sekali anak dan ibu itu. Mereka menangis karena kelaparan."

"Memangnya apa yang terjadi dengan mereka? Mengapa bisa sampai kelaparan?" tanya ibunya dengan penasaran.

Ikrimah tersenyum. Kemudian ia menunjukan handphonenya ke ibunya.

"Kita lihat saja ya Uma. Ikrimah juga belum menontonnya secara keseluruhan," jawab Ikrimah.

Bu Maryam mengangguk. Ia menggeser tubuhnya agar bisa semakin dekat melihat handphone itu.

Dua puluh menit sudah berlalu. Ruangan tamu yang terasa sangat sepi itu melengkapi kenyamanan ibu dan anak itu.

"Setelah menonton ini Uma jadi teringat kisah Umar Bin Khatab, Nak."

Ikrimah mematikan handphonenya. Video film pendek yang ia putar sudah selesai di tonton.

Dengan sumringah Ikrimah menatap ibunya "Umar Bin Khatab sahabat Rosulullah maksud Uma?" tanyanya.

"iya Nak. Apa kamu ingat dengan kisah Umar yang menyaksikan sendiri bahwa ada masyarakat dibawah pimpinannya yang kelaparan?"

Ikrimah mencoba mengingat kembali. Kemudian ia mengangguk pelan.

"Iya Ikrimah mengingatnya Uma. Saat itu ada seorang ibu yang memasak batu untuk menyenangkan anaknya. Ibu itu meletakan alat memasaknya di atas tungku seolah olah ia memasak makanan untuk anaknya."

Ikrimah menghembuskan napasnya dengan berat seolah ada hal yang berat ia katakan.

"Kebetulan saat itu Umar tanpa sengaja melewati rumah mereka. Umar mendengar percakapan anak dan seorang ibu yang cukup pilu. Anak itu menangis karena lapar dan ketika di tanya tentang makanan maka ibunya akan menjawab bahwa makanan sedang di masak."

Ikrimah lagi-lagi menghela napasnya "Umar yang menjabat sebagai pemimpin saat itu jelas merasa bersalah. Dia kembali ke tempatnya untuk membawa bahan makanan untuk Ibu dan anak itu. Umar membawa bahan makanan itu sendirian tanpa menyuruh orang lain," jelas Ikrimah.

bu Maryam tersenyum, ia memberikan tatapan kepada anaknya dengan penuh kasih sayang.

"Kamu sudah belajar dengan baik Nak. Beberapa sejarah sudah kamu ketahui, tapi ingatlah Nak bahwa belajar itu bukan hanya di sekolah atau di rumah. Ilmu itu bisa di dapatkan di manapun dan dari siapapun."

Ibu Maryam membelai rambut anaknya yang terurai panjang. Terasa sekali kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Sungguh Ikrimah snagat beruntung mendapatkan ibu sebaik ibu Maryam.

"Jika nanti Uma tiada. Ingat Nak kamu harus tetap semangat dan mengejar mimpimu. Jangan pernah berhenti menulis. Bekerjalah untuk keabadian. Kamu layak bahagia Nak," ucap ibu Maryam lagi.

Cinta Dalam Balutan TasbihWhere stories live. Discover now