09 | Ayah

281 19 1
                                    



"Kita gak bisa buat laporan kalau belum 1x24 jam."

Bu aminah menatap orang-orang yang saat ini berkumpul di rumah riyu dengan tatapan sendunya. Mendengar kabar dari zaki bahwa riyu pergi, membuat wanita berusia 45 tahun itu merasakan kekhawatiran yang luar biasa

"Apa riyu gak bilang sesuatu sama kamu sebelumnya nis?." Kali ini, pak rahman yang berbicara kepada nisa, setelah tadi pria itu berurusan dengan aparat desa yang menanyakan keberadaan riyu serta kejelasan nasib rumah yang dihuni nya.

Nisa menggeleng lesu. "Enggak pak. Riyu gak bilang apa-apa."

Pak rahman tampak menghela napasnya pelan. Mengalihkan perhatiannya dan menatap ke arah zaki yang sedari tadi hanya terdiam. "Zaki, kamu pasti tahu sesuatu kan?"

Zaki terdiam, semua orang yang ada disana menatap ke arah dirinya, kini ia merasa seperti disudutkan. Zaki menjadi bimbang, haruskah ia mengatakan hal yang kemarin sempat mereka bicarakan. Namun, ia juga tak yakin riyu melakukkan nya, ia tahu betul anak itu seperti apa.

"Kemarin, riyu sempet bilang sama aku mau cari ayahnya. Aku pikir dia cuman bercanda, jadi aku gak terlalu tanggepin pak."

"Apa riyu bilang kalau dia tahu ayahnya dimana?". Nisa tiba-tiba menyela, membuat semua orang menoleh ke arah dirinya.

Zaki menggelengkan kepalanya pelan, membuat semua orang disana mendesah prustasi.

"Lebih baik kita pulang dulu dan beristirahat, tunggu waktu sampai besok, kalau riyu belum juga pulang baru kita buat laporan kehilangan ke kantor polisi." Usul pak rahman yang mendapat anggukkan dari semua orang tak terkecuali nisa. Perempuan itu tak percaya kalau benar riyu mencari ayahnya.

Sekarang bukan hanya rasa khawatir yang ia rasa, nisa juga merasa takut kalau sampai riyu berhasil menemui ayahnya, ia takut nasib anak itu akan berakhir sama seperti luna.

Sama-sama tidak pernah dianggap akan hadirnya.

¤¤¤

Tristan terpaku di tempat, menatap lekat ke arah seorang remaja yang tengah terbaring diatas brangkarnya. Ia ingat, bocah itu yang tadi siang di usir oleh satpam kantornya. Jadi, yang dava maksud menabrak seorang remaja itu ternyata bocah ini ruapanya.

"Kok bisa sih lo nabrak dia dav?" Dari sekian banyak pertanyaan sepertinya tristan sudah kehabisan, karena sungguh yang pria itu tanyakan membuat dava menarik lagi rasa sabarnya.

"Ya bisalah. Kalau gak bisa gak mungkin kecelakaan. Lagian ini tuh gak sengaja, kalau sengaja juga itu namanya perencanaan bukan kecelakaan." Bukan dava yang menjawab melainkan elias. pemuda itu terlihat ketus kepada tristan

"Diem lo. Gue lagi gak nanya sama lo yah. Gue nanya sama dava. Bukan sama orang-orangan sawah." Sahut tristan geram

Sedangkan dava memijit pelipisnya pelan. Tristan dan elias ini tidak pernah tahu tempat jika sudah adu bacot. Membuat dava pusing sendiri menghadapainya.

"Kalau kehadiran kalian disini cuman buat masalah sama adu mulut doang, mending kalian berdua keluar. Kalian bukannya bantuin gue tapi tambah beban gue aja tahu gak." Ujar dava dengan menatap tajam ke arah keduanya.

Kini, tristan dan elias sama-sama terdiam. Mereka tidak mau membuat dava marah, karena jika pria itu benar-benar marah maka habislah mereka berdua.

"Ya sorry dav, habisnya kacung lo ini ngeselin banget jadi orang. Gue nanya gitu soalnya nih bocah sempet ke kantor kita." Ucap nya kemudian mendudukkan diri di atas ujung brangkar sana.

Dava mengangkat sebelah alisnya tak paham. "Kantor?". Tanya nya

Tristan mengangguk. "Iya. Mana pake acara nerobos masuk segala. Nih bocah kayak nya agak-agak deh."

RiyundraWhere stories live. Discover now