2. Pertemuan Kedua

22 5 2
                                    

Pertama kali Mario melihat Sera pada pertengah musim kemarau di sebuah toko buku di Yogyakarta. Saat itu Mario hanya ingin berteduh di ruang dingin tanpa bermaksud membeli buku.

Ketika dia berjalan di lorong, matanya menangkap perempuan itu sedang berjinjit, meraih kamus Indonesia-Tetun dari rak bahasa. Langkah Mario spontan mendekat saat melihat judulnya. Memang itu buku yang sangat dikenalinya.

“Kamus Indonesia-Tetun, Tetun-Indonesia, karya Johanes Manhitu. Satu-satunya Kamus Tetun, yang terbit sejauh ini.”

Mario memasang senyum ketika perempuan itu menoleh.

“Aku Mario, dari Timor Leste,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Perempuan itu mengamati Mario sejenak, dan meski terdengar ragu dia menyebutkan namanya, “Sera.”

Itu pertemuan yang menjadi awal kisah panjang mereka.

Sebelum akhirnya Sera memilih pergi. Hanya Sera  yang pergi, sebab Mario tidak pernah mau mengucapkan selamat jalan. Dan meski sudah tidak ada komunikasi sama sekali, Mario tetap mencari cara agar selalu bisa mendapat kabar tentang Sera.

Sejak kegagalan Sera mendapat residensi ke Timor Leste yang berdampak besar pada hubungan mereka, Mario tidak pernah menemukan lagi karya-karya Sera di media yang biasa memuat tulisannya.

Mario pernah dicemaskan oleh perasaan kalau Sera benar-benar akan menghilang. Namun toh, Sera hanya mengganti nomor ponselnya. Sera masih ada di media sosial dan tidak pernah memblokirnya.

Perempuan memang aneh. Kadang-kadang rumit dan sering kali tidak bisa diramalkan kalau istilah Nicholas Sparks. Tapi justru hal-hal seperti itu membuat Mario menjadi lega, maksudnya ketika Sera masih terjangkau oleh radarnya. Dia yakin bahwa sebenarnya Sera tidak pernah benar-benar ingin pergi.

Sebab keyakinannya itulah Mario berjanji dalam hati suatu hari kelak entah bagaimana caranya dia akan membawa perempuan itu menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, menghirup udaranya dan meminum airnya.

Ya, Sera boleh saja memilih pergi, tapi bagi Mario dirinya tidak akan pernah mengucapkan selamat tinggal. Sejarah telah mengajarinya banyak hal. Terutama pengajaran perihal menunda untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan.

Referendum pernah membuat keluarganya terpencar. Pernah membuatnnya berbulan-bulan menjadi anak pengungsian. Sekolahnya terhenti bahkan ia ragu tentang cita-citanya sendiri.

Sekarang, setelah sembilan tahun, melihat Sera benar-benar berada di hadapannya kini, tentu bukan kebetulan semata.

“Sera!”

Tidak terlalu sulit bagi Mario menemukan perempuan itu diantara orang-orang di bandara. Penampilanya yang berbeda membuatnya mudah dikenali. Mario pernah melihat foto dengan penampilan seperti itu di Instagram Sera. Kulot dan kerudung hijau army, dipadukan dengan kaos oversize warna toupe. Terbaca sekali raut terkejut perempuan itu ketika melihat Mario.

Mario yakin, Sera pasti memikirkan kemungkinan untuk bertemu dengan dirinya ketika tiba di negara ini. Namun Mario juga yakin Sera tidak akan menduga kalau pertemuan mereka akan secepat ini.

Jadi, Mario mengeluarkan name tag berlogo Loromatan Foundation dari sakunya. Di sana tertera nama Mario sebagai Panitia.

Sera membungkam mulut dengan telapak tangannya.

Mario tertawa kecil. “Ya, aku panitia yang ditugaskan menjemput Nona Pembicara dari Indonesia ini.”

“Oh ya Allah ....”

Mario menangkap perubahan raut Sera.

“Jangan khawatir, kamu punya waktu satu minggu untuk menanyakan apa pun kepadaku, oke? So, sekarang kita harus pergi dulu. Makan atau ngopi, dan aku akan antar ke hotel tempatmu menginap.”

Yang Kita Miliki Hanya KenanganWhere stories live. Discover now