♡14

318 61 4
                                    

☆☆☆


Kaki Juni mondar mandir gelisah di depan salahsatu unit apartemen yang menjadi tempat kejadian pembunuhan Rudi.
Didekat sana, garis polisi membentang tegas menjaga area bekas tempat tubuh Rudi meregang nyawa.

Ini sudah pukul tujuh malam, Taemi yang tidak dapat dihubungi, belum terlihat pulang. Membuat Juni memandang gelisah ponselnya. Sampai kemudian, dia mendengar derap langkah, menampakkan Taemi berjalan lemas menuju unit nya.

Sorot mata duka itu..
Jelas dapat Juni pahami.

"Taemi.."

Wajahnya terangkat menoleh.
"Eh, Juni?"

Juni menarik simpul senyum tipis.
"Mmm... Gak apa-apa kalo aku ke sini?"

"Iya.. malah aku seneng. Maaf ya, aku belum sempat hubungin balik kamu."

"Gak apa-apa. Aku ngerti kondisi kamu."

Melihat wajah Taemi kembali menunduk, Juni mendekat untuk menggenggam tangan sang teman.

Dapat dia rasakan bagaimana sakit nya rasa duka dibalik senyum pahit Taemi yang berusaha terlihat tegar.

Telah memasuki unit apartemen, Taemi langsung menuju kamar, sedangkan Juni mengambil air minum untuk Taemi.

Diambang pintu kamar, Juni terdiam memandangi tamannya yang memandang kosong jendela berlatar langit gelap. Tubuh yang selalu tampak tegap itu sekarang ringkih. Binar ceria di sepasang mata indah itu sekarang redup.

Pelan-pelan dia mendekat, memberikan segelas air minum untuk Taemi.

"Makasih, Juni."

"Sama-sama.."

Seusai Taemi menaruh gelas yang telah kosong itu ke meja, dia melihat tangan Juni membentang lebar, diikuti senyuman tulus yang menyampaikan rasa sayang penuh pengertian. Maka dia langsung menghanyutkan diri di dekapan temannya.

Sunyi malam. Membagi cerita dalam diam dan bisikan tangis. Diatas kasur itu, Taemi berbaring, membenamkan wajah dalam dekapan hangat Juni. Atau meracau kacau yang tak lelah Juni dengarkan baik-baik dengan sabar.

Sesekali Juni membelai lembut kepala Taemi.
"Aku tau..
Taemi.. Aku ada disini buat kamu. Selalu ada buat kamu."









Pagi menyapa..

Tenang, sunyi, dan aroma kamper menguasai penjuru ruang gereja. Beberapa lilin putih menyala khidmat. Didepan mereka terdapat sebuah peti yang menjadi tempat berbaring nya tubuh tanpa nyawa Rudi. Wajah putih keturunan peranakan Tionghoa itu membias pucat, dihiasi senyuman rapat keabadian.
Dua puluh pria dan dua wanita berjas hitam berbaris rapih di belakang seorang bos besar. Bos Gerry. Menatap duka peti mati komandan besar nya yang telah berpulang ke sisi Tuhan.

Hadir lah Taemi, sama-sama memakai setelan jas hitam keanggotaan. Melewati jejeran bangku jemaat, dia berjalan ke depan agar melihat wajah sang teman untuk terakhir kalinya.

Semua orang menatap.

Bahu gemetar kala gadis itu sampai di depan peti. Menguraikan air mata oleh mendapati mata terpejam Rudi untuk selama-lama nya.

Rudi. Sosok pemuda tangguh yang pertama membuatnya mengenal salahsatu kelompok besar preman di Jakarta, dua tahun yang lalu, dalam situasi pertemuan yang cukup aneh untuk memulai pertemanan. Dimana dulu Rudi yang bertugas di terminal, pernah membantu mencari dompet nya yang jatuh.
Dia masih ingat jawaban Rudi ketika ditanya kenapa benar-benar membantu nya tanpa pamrih;
"Gue tau lo gak percaya karena penampilan gue. Tapi asal lo tau, manusia macam gue tetap lah sama-sama manusia, yang juga bisa punya sisi lain dalam dirinya, termasuk nurani dan kebaikan."

[New] Persona Non Grata [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang