BAGIAN 17 - Pernah Dekat Di Masa Lalu

36 3 0
                                    

15 tahun lalu.

Seorang anak berumur 10 tahun, terlihat menangis sambil memegangi lutut. Sepeda berkeranjang berwarna pink juga tergeletak tak jauh dari sana. Kalau dilihat dari kondisinya, dia pasti baru saja terjatuh. Beberapa anak lelaki di seberang jalan hanya melihat ke arahnya sambil terus tertawa. Sama sekali tak ada niatan untuk menolong. Mereka justru gencar mengolok-olok ketika anak itu semakin keras menangis.

"Anak cengeng! Anak cengeng!" salah satu dari tiga anak lelaki itu merajalela.

Melihat ketidakadilan terjadi di hadapannya, sosok remaja berseragam SMA yang baru saja bertransaksi di sebuah warung itupun berjalan mendekat. Dengan tatapan senioritas serta sedikit menghardik, dia mengusir para anak laki-laki dengan gerakan siap melempar mereka menggunakan sebelah sepatunya. "Siapa yang ganggu dia? Gue laporin polisi baru tahu rasa!"

Benar saja, tak perlu bertindak dua kali, ketiga anak lelaki tadi langsung lari tunggang langgang menaiki sepeda mereka.

"Dasar bocah! Udah nggak nolongin, malah ngata-ngatain!" remaja itu menggeleng kesal lalu bergerak cepat ke arah si anak gadis. Tas kresek berisi belanjaan, dia letakkan di sebelahnya.

Dia pun berjongkok lalu merunduk, menatap tepat wajah si anak perempuan yang masih tertutup oleh telapak tangan. Remaja itu mencoba meraih tangan si anak perlahan. Tetapi, anak itu semakin mengetatkan tangannya ke wajah. Dia malu. Dia pun masih takut.

"Hei, Dek, nggak apa-apa. Mereka udah pergi." Remaja laki-laki itu masih membujuk. Pandangannya kini tertancap pada kedua lutut serta betis anak itu yang berlumuran darah serta luka. Dengan gerakan cepat, dia meraih tas kreseknya untuk mengambil sebotol air mineral. Dia buka tutupnya lalu perlahan dia tuang ke permukaan kaki anak itu untuk membersihkan luka. Dia juga mengambil sapu tangan dongker dari dalam saku celana untuk mengelap sisa-sisa kotoran yang menempel.

Terdengar raungan pelan dari balik tangan anak itu ketika si pemuda mengusap lututnya.

"Sorry, Dek. Tahan ya. Kalau nggak langsung dibersihin nanti malah infeksi." Ucap pemuda itu lembut.

Dengan bahu yang masih terisak, anak itu kini mulai bisa mengendalikan diri. Perlahan, dia juga menurunkan tangan untuk melihat siapa yang telah menolongnya. Pandangannya pun menangkap wajah pemuda di sebelahnya yang masih serius membersihkan luka di betis. Matanya kini turun, memperhatikan seragam SMA yang dipakai. Badge di lengan sebelah kanan tertulis nama SMA yang familiar. Lalu sebuah nama di dada sebelah kanan, membuat anak itu tahu siapa nama pemuda yang menolongnya. Kenan Mahendra P.

"Rumah kamu di mana?" tanya Kenan seusai dia membersihkan kaki anak itu. Pandangan mereka pun kini bertemu untuk pertama kali. "Ayo, aku antar." Dia membantu anak itu berdiri lalu ganti membenahi posisi sepeda yang juga terbalik.

Melihat anak itu masih ragu, Kenan pun tersenyum simpul. "Kamu takut kalau aku nyulik kamu?"

Anak itu mengangguk patah-patah. Dia begitu polos.

Kenan pun sukses tertawa pelan lalu dia menggeleng. "Nggak apa-apa, Dek. Kebetulan aku juga lagi nyari rumah temen aku di deket sini. Sekalian aja. Ayo!" Dia bersiap menuntun sepeda mini milik anak itu. "Atau mungkin kamu kenal?" tanyanya sembari memperhatikan lingkungan perumahan sederhana yang padat penduduk itu. Biasanya untuk lingkungan seperti ini, antar tetangga pasti masih mengenal satu sama lain meski tinggal di gang atau blok berbeda. Tak seperti lingkungan kediaman Kenan yang terdiri dari rumah-rumah besar nan megah serta tertutup pagar tinggi demi melindungi privasi.

Anak itu teringat pada nama SMA di seragam Kenan. "Kalau boleh tahu siapa nama teman Kakak?" kalimat pertama yang terlontar, refleks membuat Kenan menoleh dan menunduk lagi untuk menatap anak itu.

A-KU & A-MUWhere stories live. Discover now