[1] Keluarga

766 77 6
                                    

Banyak orang yang iri terhadap keharmonisan keluarga Anugerah. Keluarga mereka bukan dari kalangan konglomerat yang tajir melintir, bukan juga dari keturunan bangsawan yang penuh keagungan. Mereka hanya sebuah keluarga dengan kesederhanaan. Mahesa sebagai kepala keluarga berhasil membangun lingkungan yang nyaman bagi anak-anaknya. Walaupun kadang masih memberontak, tetapi anak-anak Mahesa selalu menurut setelah diajak diskusi lebih lanjut. Mahesa dan Alin memang pandai dalam berkomunikasi. Sebisa mungkin mereka berusaha mengomunikasikan masalah dengan kepala dingin.

Seumur hidup mejadi anak Mahesa dan Alin, tidak sekali pun Anugerah pernah menangis karena sakit hati akan perkataan mereka. Orang tuanya lebih memilih diam saat sedang emosi. Kalau kenakalan-kenakalan kecil yang Anugerah lakukan, paling hanya akan dinasihati. Lalu setelah itu dilupakan begitu saja, bukan diungkit-ungkit sampai satu bulan ke depan. Begitulah Anugerah dibentuk menjadi seorang laki-laki di keluarganya.

Anugerah punya adik. Usia mereka terpaut tiga tahun lebih sedikit. Namanya Ega, Megantara Kusuma. Kadang Anugerah iri karena nama Ega ada dua kata, sementara miliknya hanya satu. Terlepas dari itu, hubungan mereka layaknya kakak-adik di luar sana. Ega paling suka menjaili sang kakak saat ia gabut, sementara Anugerah yang terpaksa sabar harus meladeni Ega, suka tak suka. Kalau tidak diladeni malah makin menjadi anak itu.

Namun, belakangan ini Ega jarang di rumah. Dua bulan lalu Ega bilang dia punya pacar. Satu angkatan dengannya. Jujur, Anugerah jadi sedikit cemburu. Tak jarang ia malah marah karena Ega tak punya banyak waktu di rumah. Ia terbiasa hidup dengan Ega, kalau Ega lebih asyik dengan yang lain rasanya ada yang hilang.

"Belum tidur, Bang?" tegur Alin saat melihat si sulung ada di ruang tamu.

Anugerah segera menoleh ketika mendengar suara sang bunda. Ia tersenyum kecil. "Nungguin Ega. Beberapa hari ini dia pulang larut malam terus, pas Abang udah tidur baru dia sampe rumah. Padahal Abang kangen sama dia."

"Iya, tuh. Coba sekali-kali kamu bilangin supaya jangan pulang malam terus. Biasanya dia lebih dengerin kamu daripada Bunda sama Ayah."

"Gimana bilanginnya? Dia pagi buta udah ilang, malam gak pulang-pulang."

Alin meringis. Ia sendiri bingung harus menasihati Ega bagaimana lagi agar tidak keluyuran sampai larut malam. Mahesa juga sudah ikut menasihati, tetapi sama saja. Ega itu memang sekeras batu. "Kalau nggak kamu tidur di kamarnya aja, Bang. Kamar Ega nggak pernah dikunci. Masuki aja terus sembunyi di balik selimut. Ntar kalau dia pulang baru kamu bantai!" ujar Alin menggebu-gebu.

"Kasian, Bun, masa udah ngantuk malah diinterogsi," balas Anugerah sambil menggaruk tengkuk. Ia bimbang. Haruskah ia memakai usul sang bunda?

Namun, setelah itu Anugerah bergegas pergi ke kamar Ega. Tidak dikunci sesuai kata Alin. Anugerah mengernyit ketika kamar itu akhirnya mendapat penerangan. Benar-benar seperti kapal pecah. Lelaki tersebut geleng-geleng kepala sambil merapikan baju Ega yang berserakan di lantai. Underwear juga tersampir sana-sini tak beraturan. Anugerah heran, bagaimana bisa Ega tidur di kamar yang berantakan begini.

Usai merapikan kamar Ega, Anugerah menutup tubuhnya sampai kepala dengan selimut—sesuai usul yang diberikan Alin tadi. Ia berkamuflase menjadi gundukan selimut di atas ranjang. Sebenarnya lebih mirip kepompong, sih. Hingga ia jatuh tertidur tanpa disadari, masih dalam posisi yang sama. Namun, tidak lama karena Ega masuk ke kamar disertai suara kencang debuman pintu. Anugerah yang hampir menjelajahi alam mimpi langsung terjaga.

"Anj— Abang!" pekik Ega ketika hendak menarik selimut, tetapi malah disuguhi wajah sok garang sang kakak. Pemuda tersebut lantas melempar selimut itu kembali. "Ngapain lo di kamar gue?!"

"Ke mana aja jam segini baru pulang?" Anugerah berkacak pinggang.

"Nongkrong, lah. Abang juga biasanya sama Bang Raden sampe malem."

Melodi Tak BeriramaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz